"Ya ampun ponakan." Sita dan Elle berlarian heboh ke arahku yang duduk di taman depan rumah. Di dalam troli bayi ada Asta. Dia sudah menginjak usia 5 bulan.
"Harusnya Rio gue bawa ke sini. Biar bisa ketemu sama Bram." ucap Sita. Dia lebih suka memanggil nama anakku Bram dibandingkan Asta.
Elle mengelus perutnya yang belum terlalu besar. "Nanti kalau anak-anak kita kumpul. Bisa buat tim sepak bola sendiri."
"Anak Sita tiga. Anak Laras dua. Lo mau anak berapa El?" Sita beralih ke Elle.
"Eh, gue mau punya anak lima." aku mengoreksi ucapan Sita. "Tapi nunggu Asta tiga tahun."
"Gue tiga aja cukup." Elle mengelus perutnya. "Yang ini belum lahir. Udah ngomongin adiknya."
"Suami lo konglomerat El. Anak kok cuma 3. Eman-eman." Sita mengangguk setuju dengan balasanku.
"Dia enak tinggal goyang. Gue yang hamil." jawab Elle sambil mengerucutkan bibirnya. Aku mendorong troli Asta masuk ke dalam rumah. Mengambil Asta ke dalam gendonganku di ikuti semua sahabatku dari belakang.
"Gue mau gendong Asta." Elle mengulurkan tangannya. Aku memandangnya ragu. "Bisa gue. Dulu gue sering gendong Kevin."
Aku menyerahkan Asta ke dalam gendongan Elle. Sita dan Elle tertawa bersama Asta, kadang Sita melakukan cilukba mengundang tawa renyah Asta.
"Gue titip Asta. Mau ke kamar."
"Siap." jawab mereka serempak.
Aku meninggalkan Asta bersama kedua sahabatku. Aku naik ke kamarku, memeriksa Mas Hardi sudah bangun atau dia. Hari ini adalah hari libur Mas Hardi.
Aku mengusap punggung terbuka Mas Hardi, dia tidur tengkurap. "Mas bangun, udah jam 10." tak ada reaksi dari suamiku, dia hanya membalikkan tubuhnya sehingga dadanya yang keras terpampang nyata.
Dia mengambil tanganku yang berpindah di rambutnya. "Nanti." dia menarik tubuhku hingga terjatuh di atas tubuhnya. "Mas!" tegurku.
"Masih pagi." dia menggesekkan hidungnya di ceruk leherku. "Kamu wangi." bisiknya lalu tersenyum.
"Elle sama Sita baru di bawah. Gak enak sama mereka Mas."
"Asta bakalan tenang kalau udah sama dua tantenya. Udah kamu kasih susu kan?"
"Udah."
Mas Hardi melingkarkan kakinya di pinggangku. "Sebentar saja. Mas lelah, kemarin kamu benar-benar buas."
Aku menyandarkan kepalaku di dada Mas Hardi. "Aku waktu hamil Asta selalu minta kalau besok Asta gede, dia gak kayak Bapaknya."
"Dia anak Mas. Tentu sifatnya bisa mirip Mas." kata Mas Hardi enteng.
"Ngadepin satu Mas Hardi udah bikin pusing. Pakai ditambah segala, bisa pingsan tiap hari."
Mas Hardi mengangkat bahu acuh. "Itu sudah takdir kamu." dia menggulingkan tubuh kami ke samping. "Kapan mau hamil lagi?"
"Tunggu Asta tiga tahun. Selepas itu aku mau hamil lagi."
"Ya sudah. Kita melakukan proses pembuatannya saja." ucapnya lalu mencium bibirku ganas. Baiklah sahabat, bisa dipastikan aku tidak akan langsung turun dalam dua jam kedepan.
*****
Empat tahun sudah berlalu. Aku tahu kalian baru menghela napas tiba-tiba sudah empat tahun kemudian. Aku mengusap keringat yang bercucuran di pelipisku.
"Asta." panggilku pada anak itu. Lisa menggandeng Asta masuk ke dalam kamar adik mereka.
"Kak Is tolong Asta naik. Asta mau lihat Adik." tangan mungil Asta menggapai box bayi Adiknya. Lisa menggendong tubuh Asta untuk melihat isi di dalam box bayi.
KAMU SEDANG MEMBACA
D U D A [END]
Romance[Sebelum membaca follow akun ini dulu] Margaretha Larasati. Dia bukan tipe gadis yang sangat rajin. Bukan gadis yang pintar memasak seperti kedua sahabatnya. Namun Laras adalah gadis yang paling santuy. Laras tidak suka kehidupannya diurusi oleh...