Aku berjalan ke panggung pelaminan. Mas Hardi melangkah di sampingku, aku tersenyum lebar—memperlihatkan aku sedang bahagia. Aslinya mah boro-boro, semenjak kejadian kemarin. Aku memukul punggung Mas Hardi agar bangun dari tubuhku.
Kemarin malam aku memilih tidur di sofa tapi Mas Hardi melarangnya dengan alasan, jika nanti Lisa masuk ke dalam kamar. Apa jawaban yang aku berikan pada Lisa. Aku tidur seranjang dengan Mas Hardi namun berbeda selimut dan di tengah-tengah ranjang terdapat guling yang membatasi kami.
Aku duduk di panggung pelaminan. Pernikahan paling megah dari semua resepsi pernikahan yang aku hadiri.
Sita bercerita kemarin, pernikahan Nadira dan Mas Hardi tidak semegah pernikahanku.
"Istri lo gila Man. Cakep bener." salah satu teman Mas Hardi naik ke atas panggung, bersalaman dengan kami.
"Terimakasih Joko."
Aku menahan tawa. Wajah laki-laki mirip bule itu ternyata bernama Joko.
"Udah gue bilang nama gue Jay. Jangan panggil Joko."
"Bagus namanya." pujiku, dia tersenyum pepsodent. "Mirip umpatan sih sebenernya. Kan An-Jay." lanjutku mampu membuat senyumnya pudar.
"Kalian cocok. Sama-sama akhlakless."
"Cocok, bibir-bibirmu." balasku tak suka. Cukup Mas Hardi yang gak ada akhlak. Aku jangan ikut dibawa-bawa.
Citraku sebagai perempuan bar-bar nanti bisa rusak.
"Pegel." aku berbisik di samping telinga Mas Hardi.
"Tunggu sebentar lagi."
Aku menghembus napas kesal. Aku pegal bukan gara-gara tamu undangan, tapi high heels setinggi cita-citaku. Diam-diam aku melepas heels milikku, melemparkannya menggunakan kaki ke belakang kursi pengantin.
Aku terlihat jauh lebih pendek di samping Mas Hardi. Tapi bodo amat, yang penting kakiku sudah tak cenat-cenut lagi.
"Hardi. Selamat buat kamu akhirnya bisa move on dari Nadira kampret." teman wanita Mas Hardi menatapku penuh binar. "Cantik sekali kamu. Laras ya?"
"Makasih Mbak."
"Panggil aja Lira."
Aku tersenyum, menyelaminya. Andai dia tahu Mas Hardi belum melupakan sosok Nadira kampret. Kira-kira dia akan memaki atau mengata-ngatai Mas Hardi?
"Bener-bener gak salah pilih kamu Hardi."
"Kamu tidak tau seberapa ganasnya dia." aku mencubit lengan Mas Hardi. Ia meringis kesakitan, menatapku protes.
"Kalian masalah ranjang jangan di bongkar di sini dong." Lira cekikikan sendiri. Ia turun dan langsung menuju stand makanan.
"Ngomong aneh-aneh dikit, bacok." ancamku.
"Kamu mau jadi janda?"
"Ya gak apa-apa. Aku nanti janda kembang."
Satu orang pria datang memberi selamat pada kami berdua. Aku berucap terimakasih lalu disusul pria lainnya, dari wajahnya terlihat dia sejenis fuckboy.
"Bro, istri lo jomblo gak?" tanyanya. Mas Hardi menatap pria itu tak suka. "Bercanda. Tapi dianggap serius juga boleh, biar istri lo sama gue."
"Kayak dia mau sama lo aja." balas Mas Hardi ketus. Ternyata Mas Hardi bisa gaol. Aku mengira dia orangnya kudet.
"Siapa yang gak mau sama gue? Kaya, mapan, usaha dimana-mana dan yang terpenting gue ganteng."
"Pasti yang bilang Mas ganteng itu Ibunya Mas kan?" tanyaku menggoda, dia tertawa lalu mengangguk. "Kadang walau anaknya mirip monyet, Ibu tetep bilang dia ganteng kok Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
D U D A [END]
Romance[Sebelum membaca follow akun ini dulu] Margaretha Larasati. Dia bukan tipe gadis yang sangat rajin. Bukan gadis yang pintar memasak seperti kedua sahabatnya. Namun Laras adalah gadis yang paling santuy. Laras tidak suka kehidupannya diurusi oleh...