e n a m p u l u h 🎐

95.8K 4.4K 319
                                    

Aku duduk di teras bersama Mas Hardi, menikmati secangkir kopi. Menatap senja di taman rumah dan saling menautkan jemari masing-masing.

Aku tahu perbuatan kami tidak sopan di depan para jomblo. Namun aku sedang di taman, jadi pernyataan itu tak berlaku.

Aku menyesap kopi di cangkir Mas Hardi lalu mengernyit tak suka mendapati rasa kopi itu pahit. Di langit senja bermula dari ingin menjadi anak indie tapi gagal karena aku tak suka kopi pahit.

Semua anakku dibawah Ayah pergi entah kemana. Mereka bilang Kakeknya ingin mengajak mereka berkeliling, semua suster dan tujuh bodyguard suruhan Mas Hardi menjadi tameng mereka.

"Enak banget hawanya." ucapku. Beberapa hari belakangan ini suamiku di sibukkan dengan pekerjaan terus menerus sampai dia pulang larut.

Memiliki suami tajir melintir ada plus minusnya sendiri. Jangan dikira aku tak mempunyai masalah rumah tangga selama ini. Aku sering harus siap sendirian, dinomor duakan dengan pekerjaan. Tidur sendiri pun pernah mengalaminya.

Belum lagi Mas Hardi yang harus pulang pergi ke luar kota. Hari pertama, kedua dan ketiga memang berjalan baik. Namun di hari ke empat Mas Hardi mengutus salah satu anak buahnya untuk menjemputku ikut dengannya. Dia tidak menerima bantahan apapun.

Itulah yang terkadang memicu pertikaian rumah tangga kami. Mas Hardi selalu memutuskan sesuatu secara tiba-tiba dan tak berkata apa-apa dulu padaku. Dia tidak memikirkan apakah di hari yang sama aku memiliki jadwal sendiri atau waktuku luang.

Kecupan singkat di bibirku membuyarkan lamunanku. Bibir Mas Hardi melengkung penuh senyuman. Bibirnya merah muda tanpa menggunakan lipstik karena efek dia tidak merokok. Sebelum menikah dia pernah sekali merokok dan katanya dia tak menemukan kenikmatan apapun di sebatang rokok tersebut.

"Memikirkan apa?"

"Cuma menikmati pemandangan." elakku. "Mas selama pernikahan kita, ada masalah yang mau di sampaikan? Waktu dan tempat di persilahkan."

"Gak ada. Sikap buruk yang sulit kamu rubah itu adalah pembangkang, kamu sulit diatur jika itu bukan keinginanmu sendiri. Padahal itu buat kebaikan dirimu sendiri."

Aku tergelak. "Udah dari pabriknya begini Mas. Salahin Ayah aja."

"Tapi semua kekurangan yang kamu punya. Tentu Mas bisa mengimbangi dengan kelebihan Mas dan kamu juga bisa mengimbangi kekurangan Mas dengan kelebihan kamu."

Aku mengangguk. Sepasang suami istri harus saling melengkapi. Aku terkadang bingung, apa maksud kalimat jodoh adalah cerminan diri? Aku dan Mas Hardi mempunyai sifat yang berbeda, tapi hal itu yang menjadikan kami saling menyempurnakan.

"Pelet lele Mas manjur banget di aku. Buktinya aku bisa klepek-klepek sampai gini."

"Gak ada perempuan yang tahan dengan pesona yang Mas punya."

"Halah. Awalnya aku gedeg banget sama Mas sampai nyumpahin Mas dapet jodoh yang cerewet dan gak mau kalah. Ternyata jodoh Mas itu aku ya, berarti aku ngatain diri sendiri cerewet." aku tersenyum konyol mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu.

Berarti aku dulu sering menistakan diri sendiri. Aku menyumpah serapah Mas Hardi dan mendoakan dia hidup bersama wanita garang, cerewet dan sangar. Mirisnya itu aku.

"Padahal aku orangnya kalem." ucapku lagi. "Aku gak petakilan, gak banyak gerak. Gak suka ngomong tanpa berhenti dan aku gak galak. Malah aku orangnya ramah. Iya to Mas? Ayo jawab, jawab. Kok malah diem aja ditanya."

"Iya. Kamu orang yang paling kalem dari semua wanita yang pernah berpapasan dengan Mas." sahutnya.

*****

D U D A  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang