l i m a p u l u h s e m b i l a n 🎐

48.6K 4.1K 351
                                    

Bulan depan cerita adit-lira aku publikasikan ya. Berarti tanggal berapa?

******

Aku menarik tubuh Mas Hardi yang masih enggan melepaskan fotografer yang memotretku. Dia memukul wajah fotografer itu sampai tidak berbentuk. Sudah jelek jadi tambah jelek.

"KEPARAT SIALAN!"

"Udah Mas. Mukanya udah jelek banget, kasihan nanti dia susah cari jodoh."

Mas Hardi melepas kerah kemeja fotografer itu. "Saya akan pastikan hidup kamu hancur setelah ini. Camkan itu!"

Orang-orang di sekeliling kami memucat. Fotografer yang terkapar tak berdaya sudah disingkirkan dari hadapan suamiku. Aku melingkarkan tanganku di tubuh suamiku, cara ini biasanya ampuh digunakan ketika Mas Hardi berada di puncak kemarahan.

Saat tadi aku sedang berganti pakaian, fotografer itu mengintip aku di ruang ganti dan ingin mengambil gambarku. Namun belum juga aku membuka pakaian, suara berisik lebih dulu terdengar. Ternyata itu ulah Mas Hardi yang menarik tubuh fotografer itu hingga membentur meja dan mengakibatkan vas bunga di meja tersebut pecah karena berbenturan dengan kepala sang fotografer.

Aku membawa Mas Hardi masuk ke ruang make up, meminta P3K pada salah satu orang di sana. "Kasihan tangan suami aku." ucapku sambil mengelus bekas luka di buku jari suamiku.

"Harusnya Mas tembak kepalanya. Jangan dipukul, kasihan tangannya."

Selepas mengobati Mas Hardi aku mengembalikan kotak P3K ke tempatnya. Di tengah perjalanan aku melihat cicak yang tiba-tiba memutuskan ekornya. Cih, dia seperti laki-laki. Sukanya mutusin seseorang secara mendadak. Kenapa harus diputusin tiba-tiba kalau bisa di bicarakan baik-baik?

Aku mengambil gelas, tenggorokanku kering. Saat aku mengambil air mineral di dalam galon. Aku mendengar dua sejoli yang sedang berbincang.

"Aku gak mandang fisik kok. Aku sukanya cewek yang natural aja. Gak pakai skincare maupun make up."

Aku mendesah kesal. Masih ada pria lokal yang tidak memandang fisik? Kita coba kali ye. Aku berpura-pura jalan di depan laki-laki dan perempuan itu sambil mengibaskan rambut.

"Uhh, panas banget hawanya." keluhku.

Laki-laki itu sontak berdiri. "Kepanasan Kak?" dan sang wanita natural itu ditinggal tanpa penjelasan. Dia mendekati aku.

"Mas ceweknya kok di tinggal?" tanyaku heran.

"Biarin aja. Kakak butuh apa? Mau diambilin kipas?"

Good looking terdepan. Mana ada cowok tidak mandang fisik, mbelgedhes!

"Mas, suka cewek cantik?"

Dia termenung sebentar lalu mengangguk. "Tapi cantiknya yang natural. Seperti Kakak ini."

"Iya lah natural. Skincare gue 24K Cleopatra Nano, mulai dari serum sampai cream. Kalau mau cewek natural kayak gue, lihat depan kaca. Buka dompet, setara atau gak."

Aku kembali menghampiri suamiku. Dia mengibaskan tangannya beberapa kali. Aku menggerutu, pengennya dapet cewek cantik tapi tak mengeluarkan modal apapun. Giliran dapet malah dikatain matre. Maunya apa Junaidi?!

Aku menghempas kesal tubuhku ke sofa. Lalu melirik jam Audemars Piguet Royal Oak Extra Thin Mas Hardi. Namanya sangatlah sulit aku ucapkan ketika memesannya untuk ulang tahun laki-laki tercintaku itu.

"Dilihat lihat Mas kayak Bapak-bapak tua ya pakai jam itu." ucapku. Aku menyandarkan kepalaku di bahu lebar Mas Hardi.

"Kamu sendiri yang membeli. Kamu juga yang mengatai Mas."

"Kau yang mulai, kau yang harus mengakhiri." sahutku.

"Mas mulai dari mana?" tanya Mas Hardi bingung. "Kamu yang pertama kali mengatai Mas mirip Bapak-bapak tua."

"Aku yang salah. Tadi aku ngelantur."

"Mau pulang sekarang?" sesi pemotretan hari ini telah usai. Aku mengangguk. "Mau."

"Ayo pulang istri kecilku."

Aku mencibir. "Aku bukan microwife."

Dia tertawa lebar. Merangkul pinggangku, menunjukkan kepemilikannya.

Dasar Mas Hardi, kelakuannya dari awal menikah sampai sekarang tidak ada yang berubah.

*****

Niatnya aku ingin merefleksikan otak. Namun saat ini di depan layar laptop aku sedang memelototi drama korea berjudul The Penthouse season pertama malah membuat otakku kebul-kebul akibat terlalu emosi.

"AH BANGSUL!" aku melempar bantal ke arah Mas Hardi sampai kepalanya mundur. Dia mengelus dadanya, mencoba sabar menghadapi aku.

Teringat kejadian kemarin. Aku bercerita pada kedua sahabatku tentang aku melihat sebuah penampakan Mbak Kun, tapi mereka malah menertawakan aku. Memang jaman sekarang setan tidak ada harga matinya.

"Sudahlah Sayang. Kamu istirahat. Pasti kamu kelelahan." Mas Hardi mau menutup laptopku namun aku lebih dulu mencegahnya.

"Nanggung."

"Laras."

"Nanggung Mas. Kenapa sih?! Ganggu aja!" balasku kesal.

Mas Hardi merebut paksa laptopku. "Besok lagi. Ingat kamu bukan anak remaja yang masih lajang, kamu punya anak dan suami yang harus kamu urus. Jangan terus-menerus menonton drama Korea setiap hari. Mas membeli jam di kamar untuk kamu lihat, sudah jam berapa ini. Kegiatan apa yang harus di lakukan di jam sekian. Kamu punya matanya normal harusnya masih bisa berfungsi, jangan hanya dijadikan pajangan."

Aku membiarkan Mas Hardi menutup laptopku dan menyingkirkan benda itu menjauh dariku. Aku terdiam, Mas Hardi  jarang berbicara seserius dan penuh peringatan seperti tadi.

Orang yang pendiam ketika marah lebih menakutkan daripada orang yang sering ngegas. Aku merasakan itu pada Mas Hardi.

Aku menautkan jemari tanganku. Suamiku hanya terdiam di sampingku, tidak menyuruhku mendekat maupun tidur.

"Sini." titahnya. Akhirnya ada kalimat yang keluar dari mulutnya.

Aku mendekat, duduk di samping Mas Hardi dengan kepala menunduk. Asal kalian tahu, aku masih sedikit takut.

"Tidur." ucapnya sambil mematikan lampu utama, menggantinya dengan lampu tidur.

Mas Hardi membaringkan tubuh membelakangi aku. Dia tidak mengucapkan selamat malam, memelukku sebelum tidur dan mengecup keningku.

Aku berbaring di belakang tubuh tegapnya. Tanganku menyentuh lengan kekarnya disertai elusan ringan. "Mas."

Dia bergeming. Aku mulai takut, Mas Hardi benar-benar marah. No tipu-tipu.

"Masss,"

Tanganku menyusup di sela lengan suamiku. Aku berinisiatif memeluknya dari belakang. "Jangan marah ya?"

Aku menyandarkan pipi di punggungnya. "Udah bobok?"

Aku menusuk-nusuk perut kerasnya. "Ish, gak dijawab." keluhku. Sesaat kemudian Mas Hardi membalikkan badan, baru senyum cerahku muncul ke permukaan.

"Jangan marah ya suami. Maaf gak ngulang buat kedua kalinya."

"Mas hanya mau kamu tau waktu. Tidak setiap waktu dihabiskan di kamar, menonton film atau drama."

"Iya." cicitku pelan. Aku sendiri mengakui kalau sudah bertemu dengan laptop dan drama Korea, aku akan lupa segalanya termasuk mengurus suamiku sendiri. "Maaf sekali lagi."

"Ya sudah."

mas Hardi menarikku ke dalam pelukannya. Mengaitkan kakinya seperti biasa di kakiku, menggunakan aku sebagai pengganti guling lalu mengecup keningku sembari berkata. "Good night my world."

******

Habis baca-baca di Tiktok katanya yg udah nikah sering digituin sama suaminya.

Saya iri, saya bilang. Cuma bisa pelukan sama guling nyimak aja lah ya, bye.

D U D A  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang