Gina duduk termenung di meja kasir dengan kedua tangan dilipat di depan dada.
"Nak Rangga kenapa nggak diajakin mampir dulu?" Ujar Dania sambil menyusun toples-toplesnya di etalase.
"Aku nggak kepikiran, Bu." Jawabnya. Tadi, ia langsung melenggang turun dari mobil tanpa berterima kasih apa lagi meminta Rangga mampir. Rangga juga tidak mengatakan apa-apa saat Gina pergi begitu saja.
"Gimana sih, kamu? Nak Rangga udah repot-repot ngantar kamu pulang. Kalau kamu nggak ketemu Rangga di sana, gimana cara kamu pulang coba?"
"Gampang, bu! Kan bisa bayar di rumah." Balas Gina. Yang sebenarnya baru saja terpikirkan olehnya. Otaknya memang beneran lamban berpikir, bego, sesuai deskripsi Rangga.
Aish. Rangga lagi, Rangga lagi. Ia lalu memeluk tubuh sendiri dan menjatuhkan kepala di atas meja.
"Tapi, kan setidaknya kamu harus berterima kasih dulu! Itu namanya sopan santun, Gina."
"Iya, Bu. Nanti." Jawab Gina seadanya.
"Mbak! Liat deh." Nana menyodorkan hapenya kepada Gina.
"Apaan sih?"
"Kayaknya yang mesen beneran bukan orang, Mbak. Ternyata udah banyak kejadian aneh mirip yang lo alamin, Mbak. Ada yang mesen tapi wujudnya gaib. Untung aja alamat yang pemesan kasih bukan kuburan, Mbak. Serem..." Nana menggeleng-geleng ngeri.
"Nana! Lo bikin gue jadi takut."
Nana kembali memperlihatkan hapenya kepada Gina, "Ini beneran loh, Mbak. Kejadiannya nggak cuma sekali tapi sering banget. Dan yang paling sering kena adalah ojol. Ih... horror banget deh." Nana bergidik ngeri. Gina jadi ikutan merinding jadinya.
Masa iya sih? Pertanyaannya adalah memangnya makhluk gaib yang suka order-order itu punya hape juga?
Kalau iya, berarti perkembangan teknologi bukan hanya di dunia manusia tapi juga di dunia lain. Hebat.
"Pokoknya gue nggak mau ngantar-ngantar pesanan kalau nggak jelas begini." Omel Gina.
Dania menghela napas, "Iya-iya maafin ibu. Lain kali ibu nggak akan terima pesanan kalau alamatnya nggak lengkap." Dania menimpali dan dibalas anggukan oleh Gina.
Nana meletakkan hapenya dan tiba-tiba melihat Gina dengan senyum tipis, "Mbak nggak nyanyi hari ini?"
"Huh?" Gina mengangkat sebelah alisnya. Hari ini adalah jadwal menyanyinya di kafe jadi tentu saja dia harus datang.
"Mbak masih mikirin obrolan gaib itu yah?" Taya Nana lagi.
Gina menggeleng. Memikirkan kebenaran obrolan gaib itu hanya akan menambah beban pikirannya. Gina bangkit dari kursi sambil berkata, "Gue masuk dulu deh. Mau siap-siap ke kafe."
"Gue ikut dong, Mbak. Boleh, yah?" Nana lalu menghalangi langkahnya.
"Ikut ke kafe? Ngapain?"
"Ih, Mbak. Mau lihat Kak Ryan lah masa mau mandi." Jawab Nana dengan delikan.
"Woi... anak kecil belum tamat sekolah nggak usah pikir pacar-pacaran dulu. Belajar yang bener biar gede jadi manusia yang berguna." Omel Gina.
"Daripada Mbak udah gede nggak nikah-nikah." Balas Nana yang untuk pertama kali mengungkit kata nikah dimana Dania yang seorang Ibu tidak pernah menyebut hal tentang menikah.
"Ibu!" Gina berteriak dengan niat mengadukan Nana. Tapi bukannya mendapat pembelaan, Dania malah mengomeli mereka berdua.
"Kalian berdua berantem terus nggak capek? Sudah gede juga. Sakit kepala ibu dengernya." Ujar Dania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sing Me A Love Song (On Going)
Romance[16+] Second Project after Love Developer Blurb: Gina punya impian menjadi penyanyi terkenal setara dengan Isyana Sarasvati. Namun ia sadar bahwa menjadi penyayi bermodal pas-pasan: suara pas-pasan dan wajah pas-pasan, maka hasilnya tentu saja pas...