Chapter 9

339 48 2
                                    

"Mas Rangga benar-benar keterlaluan." Desis Gina.

Gina juga tidak paham kenapa matanya jadi berkaca-kaca. Rasanya air matanya mau menyerbu turun.

Tadi pagi, saat menemukan Mamanya pingsan di kamar mandi, Gina tidak menangis meski dia ketakutan setengah mati akan kemungkinan buruk kalau bisa saja Mamanya pergi menyusul Papanya dan meninggalkan Gina dan Nana.

Dan anehnya, Gina merasa saat ini dia ingin menangis sejadi-jadinya hanya karena melihat wajah Rangga. Tidak masuk akal memang.

"Gue datang bukan untuk..."

Gina menatap pintunya sejenak lalu beralih pada Rangga, "Kalau Mas Rangga masih punya hati, setidaknya tolong jangan biarkan Mama dan adik saya tahu kalau saya sudah membuat masalah. Saya mati-matian menyembunyikan kalau saya habis nabrak mobil orang sampai harus ganti rugi belasan juta dan Mas malah datang ke rumah saya malam-malam demi uang 3 juta? Apa di mata Mas Rangga, saya sepicik itu tanpa rasa bersalah sudah nabrak mobil orang?"

Gina menghapus air mata yang tiba-tiba saja menetes. Dan sialnya kenapa harus di depan manusia kutub ini, sih? Memalukan serta menyedihkan bergabung jadi satu.

"Hei... gue..."

"Apa sesulit itu yah, buat Mas Rangga percaya sama saya?" Kata Gina lagi dengan lirih memotong cepat kalimat Rangga dengan cepat.

"Kamu... nangis?" Rangga berucap dengan lirih.

Kenapa suara Rangga si manusia kutub jadi beda dari biasanya dalam waktu singkat? Dan di Rangga bilang 'kamu' yah?

"Bisa nggak sih berhenti nangis dan dengar gue ngomong dulu?" Rangga menatapnya dengan dahi mengerut.

Melihat perempuan menangis hanya karena Rangga mendatangi rumahnya, bukankah itu luar biasa berlebihan? Rangga datang bukan untuk melihat Gina menangis.

"Saya nggak nangis." Gina membela, lebih tepatnya Gina tidak tahu kenapa dia bisa menangis.

Sejak kapan definisi menangis berubah? Rangga jelas melihat jejak air dibawah mata cemerlang Gina, "Kalau ada yang lihat kita sekarang, pasti mereka pikir kalau lo habis gue apa-apain sampe nangis."

"Saya nggak nangis." Gina bersukukuh walau itu rasanya percuma. Sudah berapa kali ia menghapus jejak-jejak di bawah matanya.

Asal tahu saja, Gina itu perempuan kuat, tangguh dan tidak menye-menye. Menangis bukan hobby-nya, apa lagi menangis di depan orang lain. Dengan Yuli saja kadang Gina masih jaim.

"Ini punya lo, kan?" Tanya Rangga lantas mengangkat sesuatu dengan tangannya. Sesuatu yang sangat Gina kenal.

"Itu bukannya..."

"Gina, siapa yang datang?"

Itu suara Ibunya. Waktu seakan berjalan lambat saat Gina melihat handle pintu berputar dan daun pintu terbuka lebar.

Gina tidak sempat melakukan apapun untuk mencegah Mamanya melihat Rangga. Dan sudah terlambat untuk menyembunyikan Rangga dengan tubuh super tingginya milik Rangga, Ibunya sudah muncul dan melihat kehadiran Rangga.

Ibunya memperhatikan Rangga selama beberapa detik namun Rangga lempeng saja seperti tembok.

"Bu..." Gina menggerakkan bola matanya aneh. Ia mengirim pesan kepada Rangga melalui tatapan untuk tidak mengatakan apa-apa perihal insiden tabrakan berujung ganti rugi itu.

"Di...dia cuma... eh, jadi gini bu. Aduh, gimana cara ngomongnya?" Gina jadi gagap mendadak.

"Ada tamu kok nggak disuruh masuk malah ngobrol di luar?" Dania berujar lalu mempersilahkan Rangga masuk kedalam rumah.

Sing Me A Love Song (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang