Chapter 33

271 41 1
                                    

Untuk kesekian kalinya, Rangga datang ke kantor pukul 10 pagi dan bayangkan sepanjang apa ocehan Hesa yang harus ia dengar apa lagi dengan kondisi tubuhnya yang sedang tidak fit.

Sebenarnya hanya Rangga yang salah karena tidak mematuhi aturan kantor yang sejak awal dicetuskan Hesa, tapi anak-anak lain yang kurang beruntung karena berada di kantor di saat yang paling tidak tepat, ikut kena getahnya.

Rangga sebenarnya heran kenapa akhir-akhir ini Hesa lebih sensitive, emosional dan mudah marah lebih dari biasanya.

"Kali ini gue terlambat bukan karena mampir ke tempat lain tapi karena..."

"Urusan pribadi?" Potong Hesa cepat. Ia menyilangkan tangan seperti sudah menebak apa yang akan Rangga ucapkan selanjutnya.

Rangga menarik beberapa helai tisu dan menyeka keringat di dahinya. AC ruangan menyala tapi Rangga berkeringat parah padahal biasanya Rangga tidak mudah merasa gerah apalagi berkeringat di waktu yang masih dibilang pagi ini.

"Tadi pagi tiba-tiba perut gue sakit banget sampai-sampai gue mual dan muntah, jadi gue istirahat dulu bentar sebelum ngantor." Ujar Rangga menyandarkan diri di kursi kerjanya.

"Nah ini nih balasan yang lo dapat karena minggat dari rumah. Makan nggak teratur dan nggak ada yang ngurus jadinya lo sakit perut kayak gini. Ini peringatan sekaligus ganjaran biar lo pulang ke rumah." Komentarnya pedas.

Sebenarnya Hesa kasihan juga dengan anak sepupunya ini yang kelihatan agak kurusan semenjak tidak tinggal di rumahnya. Bagaimana tidak? Rangga pernah bilang kalau ia hanya makan sekali sehari yaitu makan siang. Sedangkan sarapan dan makan malam, ia hanya memasukkan kafein ke dalam tubuhnya.

Lihat saja Rangga sekarang! Ia yang paling banyak memprotes ucapannya sejak dulu kini tidak berkutik saat Hesa melayangkan kalimat yang mempertanyakan keprofesinalismenya.

"Lo ke rumah sakit aja deh! Muka lo pucat banget!" Saran Hesa akhirnya dan ditolak Rangga. Ia menjawab kini perutnya sudah baikan setelah meminum obat sakit lambung yang dibelinya di apotek yang ia lewati saat perjalanan ke kantor jadi tidak perlu ke rumah sakit segala.

"Gue nggak mau lo mati di kantor gue." Tambahnya membuat Rangga menatapnya tidak percaya.

"Gue nggak akan mati dengan mudah." Sambungnya lagi.

"Becanda gue! Ngelihatnya biasa saja." Sahut Hesa akhirnya.

"Awas kalau lo kasih tahu Mama gue."

Hesa terkesiap. Padahal ia akan segera melaporkan hal ini kepada Fifi setelah ia tiba di ruangannya tapi Rangga sudah lebih dulu melarangnya.

Hesa tidak yakin apa ia bisa tutup mulut apa lagi kalau Fifi yang menelponnya dan menanyakan tentang Rangga, Hesa tidak akan berbohong.

"Entar gue lihat!" Ujarnya tidak menjanjikan. Ia berdehem dan kembali menanyai Rangga yang baru saja menghidupkan laptop, "Btw lo nggak jadi resign, kan?

Rangga menatap bosnya sebentar sebelum matanya kembali menatap layar laptop, "Jadilah. Lo nggak lihat usaha gue sampai jual mobil yang dulu setengah mati gue beli?"

Hesa mulai berceramah meski Rangga tidak benar-benar mendengarkan.

"Ya ampun, Ga! Ngapain sih mau resign kalau di tempat gue lo kerja fine-fine aja.Gue nggak minta lo berhenti, Bokap lo nggak ikut campur lagi, gaji kurang gede apa lagi? Semua arsitek yang kerja sama gue gaji lo doang yang paling tinggi, proyek skala besar juga lo yang pegang meski kadang itu bikin gue merasa bersalah sama anak-anak. Lo mau apa lagi sebenarnya?"

"Ini bukan tentang gaji, Hes." Rangga menyanggah.

"Tapi?"

"Karena lo bos gue makanya gue mau resign." Gurau Rangga.

Sing Me A Love Song (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang