Chapter 38

247 35 1
                                    

Gina berlari menyusuri lorong rumah sakit yang serasa tidak berujung. Belum lagi penerangan lampu yang minim meninggalkan kesan horor dan membuat penglihatan Gina terbatas. Tidak ada seorang pun yang bisa ia tanyai di sepanjang lorong ini.

Gina terus menyusuri lorong demi lorong yang sepi dan segera menemukan kamar operasi dengan cepat. Ketemu. Pasti ini tempatnya. Ujarnya yakin dalam hati.

"Mbak tidak boleh masuk ke dalam." Kata suara itu.

Dengan napas yang belum teratur ia mencoba menjelaskan, "Tadi saya ditelpon kalau Mas Rangga harus dioperasi." Kata Gina saat seorang perawat menghalanginya ketika ia hampir mendorong pintu ruang operasi. Gina memang salah namun ia panik karena di rumah sakit yang sebesar ini, tidak ada seorang pun yang bisa memberikan informasi keberadaan Rangga.

Perawat itu menunjuk Gina, "Mbak keluarganya pasien Rangga Ahmady?"

"Saya temannya." Jawab Gina disusul Anggukan. Mungkin perawat ini yang tadi menghubunginya dengan nomor Rangga. "Jadi di mana Rangga sekarang, Suster? Apa dia baik-baik saja? Apa sakitnya parah banget?"

Perawat itu meminta Gina untuk tenang dan tidak berteriak karena mereka ada di depan kamar operasi, "Pasien atas nama Rangga secepatnya memerlukan tindakan operasi dan sekarang masih berada di kamar pasien." Kata perawat itu. Dalam hati Gina mendumel seharusnya ia bilang dari tadi kalau Mas Rangga tidak ada di dalam. Hampir saja kan ia menerobos.

"Tadi saya dihubungi dan diminta ke ruang operasi, Sus." Keluhnya lagi kepada perawat yang sepertinya punya banyak waktu untuk menggambar alisnya apa lagi di jam segini.

"Mari saya antar ke kamar pasien!"

Lalu Gina mengekori perawat itu. Rupanya kamar pasien yang dimaksudnya adalah kamar yang dilalui oleh Gina saat ia sibuk mencari kamar operasi tadi.

Ini yang memberi informasi bagaimana sih? Mabuk kali yah? Dumelnya dalam hati sambil mengekor di belakang perawat itu.

Perawat berhenti di depan kamar pasien nomor 318 dan meminta Gina masuk terlebih dahulu. Saat Gina masuk, sudah ada seorang pria berusia 40 tahunan yang berkacamata dan memakai jas dokter, tengah berdiri di salah satu sisi tempat tidur.

"Keluarga pasien?" Katanya saat Gina masuk.

Pertanyaan yang sama. Gina mengangguk sajalah. Ia malas menjawab apa lagi setelah melihat kondisi memprihatinkan Rangga yang saat ini meringkuk kesakitan sambil memegangi perut sebelah kanannya.

"Keadaannya bagaimana, Dokter?" Tanya Gina lalu mengambil tempat di sisi tempat tidur lainnya.

"Hasil tes darah dan urin pasien Rangga sudah keluar dan harus segara diambil tindakan operasi pengangkatan usus buntu dan kami butuh persetujuan anggota keluarga." Jelas Dokter itu singkat.

Gina ngeri saat mendengar kata 'operasi' tapi kalau itu adalah salah satu cara menyembuhkan sakit Mas Rangga maka operasi harus dilakukan. Tapi apa tadi?

"Anggota keluarga?" Gina bukan anggota keluarga Rangga ngomong-ngomong.

"Anda sebagai anggota keluarganya kenapa membiarkan pasien menyetir sendiri ke rumah sakit dalam keadaan sakit? Bagaimana kalau terjadi sesuatu di jalan?" Ujar Dokter lalu melanjutkan, "Dan jika memang sudah merasakan sakit selama berhari-hari kenapa baru datang ke RS sekarang? Itu bisa membahayakan nyawa kalau sampai terjadi peritonitis."

"Sa...saya nggak tahu kalau Mas Rangga sakit parah, Dok." Jawab Gina. Sebenarnya Dokter ini sedang memarahi siapa? Rangga atau Gina, sih?

"Yang jelas kami butuh persetujuan wali untuk segera dilakukan operasi karena kondisi Pak Rangga saat ini sudah sangat serius dan bisa mengancam nyawanya. Langsung saja mengisi formulir persetujuan yah!"

"Se...separah itu, Dok?" Tanya Gina kuatir, "Tapi saya bukan keluarganya, Dok." Kata Gina akhirnya membuat dokter itu mengerutkan keningnya.

"Loh? Saya kira kamu adiknya."

Gina menggeleng. Kalau keluarga Mas Rangga, ia tiba-tiba memikirkan Tante Minjung meski Rangga pasti tidak akan suka itu. "Saya punya nomor Mamanya, saya akan hubungi Mamanya."

Rangga tiba-tiba menghalangi tangannya saat Gina hendak merogoh hape di tasnya, "Jangan telpon perempuan itu." Katanya.

Tuhkan, Gina bilang juga apa. Saat nyawanya terancam pun Rangga tetap menolak Tante Minjung.

"Kalau begitu mana hape Mas Rangga? Saya yang akan telpon Mama atau Papa Mas Rangga di rumah." Tawar Gina. Kata Dokter operasi ini harus segera dilakukan jadi ia harus cepat-cepat menghubungi keluarga Rangga.

"Jangan telpon siapa-siapa. Mama gue bakalan tambah sakit kalau tahu gue ada di rumah sakit." Jawab Rangga dengan suara menahan sakit.

Gina melihat Rangga kini semakin pucat. Wajah dan lehernya penuh keringat menandakan bahwa sakit yang Rangga rasakan pada perutnya tidak main-main.

Gina semakin bingung jadinya, "Terus gimana? Mas Rangga mau kesakitan terus kayak gini? Nggak mau sembuh?"

"Lo aja yang tanda tangan! Nggak usah ribet." Suruh Rangga akhirnya membuat Gina mengalihkan pandangannya sejenak ke arah Dokter berkacamata dan perawat yang menunggu persetujuan operasi.

"Kok saya?"

"Biar dia aja yang tanda tangan, Dok. Lagian dia masih keluarga jauh saya." Ujar Rangga mengada-mengada. Keluarga jauh dari mana? Dari Hongkong?

Dokter itu kelihatan berpikir sejenak. Persetujuan operasi sebenarnya tidak boleh main-main tapi jika ia harus menunggu kerabat pasien, itu akan membutuhkan waktu lagi sedangkan kondisi pasien saat ini tidak memungkinkan untuk mengulur waktu.

"Karena ini mendesak dan pasien harus segera masuk ruang operasi maka lakukan dengan cepat." Kata Sang Dokter. Ia menyodorkan beberapa lembar kertas yang harus Gina tanda tangani.

Rangga lalu dibawa masuk ke dalam kamar operasi dan Gina hanya bisa menunggu di depan saja. Ia mondar-mandir sambil menggigit jari dan menatap ke arah pintu kamar operasi setiap dua detik sekali.

Yang ia kuatirkan adalah bagaimana jika Rangga tewas di meja operasi sementara tidak ada satu pun anggota keluarganya yang tahu akan hal itu?

Tapi Rangga tidak akan meninggal semudah itu, kan? Ini hanya operasi apendoktomi dan Gina tidak pernah mendengar ada pasien yang meninggal dalam operasi usus buntu di tangan dokter. Kecuali kalau memang ada kasus meninggalnya tapi Gina tidak tahu.

Gina menggeleng-geleng. Tidak. Tidak. Gina harus optimis maka Rangga akan baik-baik saja. Ia akhirnya duduk dengan tenang di kursi tunggu meski kedua kaki dan tangannya gemetar entah karena ketakutan atau kedinginan akibat udara malam.

Tadi, saat menerima telpon dari nomor Rangga di jam 1 pagi tepat dua hari setelah insiden di Poppy kafe, membuat Gina mengira dirinya sedang bermimpi apalagi yang ia dengar adalah suara perempuan, bukan suara manusia kutub itu.

"Halo?" Jawab Gina waktu itu dengan mata tertutup.

"Ini dari rumah sakit. Pemilik telepon atas nama Rangga Ahmady saat ini memerlukan operasi jadi kami minta Mbak untuk datang ke rumah sakit secepatnya."

"Mas Rangga? Rumah sakit?"

"Iya, Mbak. Mas Rangga di RS MH Thamrin. Tolong secepatnya, Mbak, karena ini mendesak."

Karena katanya mendesak, Gina benar-benar buru-buru sampai-sampai ia tidak sadar bahwa ia memakai sandal jepit ke RS.

Saat itu jam 1 pagi makanya Mamanya menyarankan Gina tidak membawa motor sendirian melainkan meminta Dion mengantarnya. Kasian juga Dion yang selalu menjadi target suruhan Gina. Untung saja Dion tidak cerewet kalau menyangkut hal yang mendesak dan darurat.

Bahkan Dion memaksa ingin menemani Gina masuk ke rumah sakit tapi Gina tidak akan membiarkan Dion punya alasan untuk membolos ke sekolah besok.

.

Pendek, yah?

Sing Me A Love Song (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang