Chapter 45

278 34 0
                                    

Rangga secara resmi sudah tidak punya mobil lagi. Ia dan si pembeli baru saja bertemu secara langsung dan menyepakati harga pasnya. Rangga hanya menerima selembar cek yang bisa ia cairkan kapan saja.

Rasanya agak lucu saat membiarkan orang lain mengendarai mobil kesayangannya sementara ia kembali ke kantor naik taksi. Namun yang dominan adalah Rangga merasa sedikit tidak rela dan juga...

Kosong?

"Gue tahu muka lo memang lempeng, Ga, tapi kenapa hari ini makin lempeng? Belum makan siang apa gimana?" Yoga, salah satu teman kerjanya yang paling senior masuk ke ruangannya sambil meletakkan sebuah proposal di atas meja.

Benar. Rangga melupakan makan siangnya lagi hari ini dan tadi ia hanya meminum secangkir kopi bersama si pembeli mobilnya.

Ngomong-ngomong orang yang membeli mobil kesayangannya adalah seorang laki-laki berusia 29 tahun. Ia berasal dari Surabaya dan berprofesi sebagai makelar mobil bekas baik jenis mobil antik maupun mobil mewah. Ia datang jauh ke Jakarta hanya untuk transaksi itu dan kembali ke Surabaya di hari yang sama serta membawa mobilnya. Ralat, sekarang bukan mobil Rangga lagi.

"Nggak sempet makan siang, tadi gue ketemu sama orang yang mau beli mobil gue di HI." Jawab Rangga sambil memeriksa berkas yang dibawa Yoga.

"Terus? Kejual?" Tanta Yoga penasaran.

"Iya. Emang udah fix sejak beberapa hari yang lalu cuma baru ketemu sekarang soalnya yang beli tinggal di Surabaya." Jelas Rangga.

Yoga mengangguk paham lantas melanjutkan, "Jadi lo bakalan resign dalam waktu dekat? Seperti kata Hesa?"

"Emang Hesa bilang begitu?" Rangga mendongak.

Yoga meluruskan punggungnya, "Iya. Sambil marah-marah." Ujar Yoga setelah melihat ke arah pintu, siapa tahu tiba-tiba Hesa datang dan mendengar obrolan mereka.

"Hesa nggak akan biarin gue pergi sebelum semua proyek yang masuk selesai." Kata Rangga yakin.

"Makanya gue nanya. Hesa pasti marah-marah selama setahun penuh sama anak-anak termasuk gue kalau lo sampai resign tahun ini." Tambah Yoga sambil bersedekap.

"Nggak apa-apa, yang penting Hesa nggak datang ke tempat kerja baru gue sambil mengacau." Ujar Rangga membayangkan Hesa datang ke kantornya mengamuk karena tidak terima atas keputusan Rangga.

Yoga sontak berdecak, "Ello belum resign tapi udah sombong aja. Gimana kalau beneran resign dan jadi bos? Nggak kebayang."

"..."

"Btw kalau biro lo sukses dan lagi butuh tambahan tenaga kompeten dan berpengalaman, gue mungkin bisa jadi bahan pertimbangan lo." Yoga berdehem sambil memperbaiki kerah kemejanya yang sama sekali tidak perlu untuk diapa-apakan.

"Dan bikin Hesa makin dendam sama gue karena ngambil karyawan dia?" Tanya Rangga diakhiri desahan.

"Sorry but no." Tolak Rangga. Mendengar kabar kalau Rangga mau resign saja sudah membuat Hesa mencat-mencat sambil marah-marah kepada semua orang apa lagi kalau sampai Rangga mengambil Yoga, arsitek yang paling lama bekerja di bawah Hesa.

"Kan gue bilang kalau bisnis lo sukses." Ujar Yoga membuat gerakan tangan Rangga hendak mengetik sesuatu di laptop berhenti.

"Maksudnya apa tuh? Lo mau bisnis gue nggak berjalan baik?"

"Nggak gitu, Ga. Ello makin sensi aja. Mending ello periksa proposal yang gue kasi daripada ngomel kayak ibu-ibu. Okay?" Hesa mengganti topik dan menunjuk berkas yang ia letakkan diatas meja kerja Rangga. Ia butuh pendapat Rangga tentang rancangan desainnya.

Sing Me A Love Song (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang