Chapter 5

419 51 1
                                    

Seberapa besar kemungkinan kita akan bertemu dengan satu orang yang paling kita hindari di dunia yang luas ini?

Gina cukup yakin bahwa kemungkinannya sangat kecil mengingat Jakarta bukan kota kecil, pula padat penduduk. Tapi hari ini keyakinan Gina tentang itu sudah patah.

Di sini, kafe yang sering dia datangi, tempat yang paling tidak mungkin bertemu dengan Rangga mengingat Gina sudah sering datang ke tempat ini dan tidak pernah menemui Rangga, pria itu malah sudah mengambil tempat duduk dihadapannya tanpa permisi.

Memangnya Gina tidak kelihatan ada di sini, yah? Permisi dulu tidak akan menghilangkan nyawa, kan?

Tapi bukan aneh mengingat dia suka melakukan hal semaunya tanpa mau tahu perasaan orang lain.

Atau ini bukan kebetulan? Memang Rangga sengaja menemuinya? Mau apa sih sebenarnya? Mau menagih hutang? Jika itu benar maka Gina tidak tahu lagi hal baik apa sih yang si Rangga-Rangga ini punya dalam dirinya?

Nagih hutangnya sekarang banget? Gina bahkan masih punya sisa waktu beberapa hari lagi sampai jatuh tempo dan Rangga juga tidak tampak seperti orang yang butuh uang.

Setiap yang melihatnya pasti akan langsung tahu kalau Rangga bukan orang biasa. Gina yakin semua yang melekat pada dirinya bukan barang murah.

Lihatlah fashion Rangga sekarang,
Retro look super chic ala selebriti dimana oufit yang ia pakai, Gina yakini dibuat oleh merek-merek terkenal.

Rangga tidak terlihat seperti orang yang akan berebut untuk mendapatkan kaus diskonan di tempat belanja. Bumper mobilnya saja seharga 11 juta, masa dia pakai kaos 100 ribu 3 lembar?

Lalu kenapa dia mengejar Gina segesit ini demi uang yang bahkan tidak akan cukup untuk membeli outfit sehari-hari Rangga?

"Kayaknya saya nggak minta Mas duduk disini deh." Kata Gina setelah tanpa basa-basi Rangga memesan makanan ringan dan segelas kopi kepada pelayan.

Bukan itu yang membuat Gina merasa lucu, tapi si Rangga ini bahkan seperti tidak menyadari eksistensi dirinya. Meliriknya barang sedetikpun tidak.

Heol, bahkan Gina-lah yang lebih dulu duduk di meja ini. Jika ada yang harus pergi maka barang tentu dia adalah Rangga.

"Saya duluan ngambil meja ini loh, seharusnya...."

Rangga memotong ucapan Gina. "Kenapa gue harus izin sama lo? Memangnya meja dan kursi ini punya lo? Atau kafe ini punya keluarga lo? Kalau iya, gue cabut sekarang. Kalau bukan, mending nggak usah bacot!" Katanya sambil bersedekap.

Dan itu kelihatan angkuh banget di mata Gina. Dan apa katanya tadi? Bacot? Gina mau ketawa, bisa nggak sih? Dosa nggak sih?

Kalau kafe ini punya Gina, maka Gina akan menjualnya demi membayar hutangnya kepada Rangga agar dirinya tak punya urusan lagi dengan Rangga.

Dengan begitu harinya tidak akan dihantui ketakutan membayangkan kedua tangannya diborgol hanya karena tak mampu membayar ganti rugi. Lagian siapa sih yang mau berhutang lama-lama?

"Kalau Mas Rangga minta sisa uangnya sekarang, percuma. Tabungan saya belum cukup. Mas Rangga sudah janji kasih saya satu minggu. Dan kalau saya nggak salah hitung, satu minggu itu masih tersisa 3 haru lagi. Mas Rangga nggak lupa-kan? Atau Mas Rangga nggak bisa menghitung?"

"Memangnya muka gue ada tampang-tampang mirip penagih hutang yah?"

Jujur, sama sekali tidak ada. Yang ada Rangga itu punya tampang yang enak dilihat. Nyaris semua mata perempuan di kafe mencuri-curi pandang demi melihatnya tapi Gina tidak akan mengatakan itu secara gemblang. Bisa-bisa dia makin besar kepala sampai kepalanya meletus.

Sing Me A Love Song (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang