Chapter 29

279 42 1
                                    

Rangga tertawa kecil mendengar omelan Mamanya, “Ma, sebenarnya aku mau memulai bisnisku sendiri.”

Bisnis gimana, Ga? Kamu, kan masih kerja sama Hesa." Ujar Mamanya.

“Aku mau membuat biro arsitek sendiri atas namaku dan merekrut karyawan seperlunya. Sesuai kata Mama tadi, aku sudah dewasa, bukan anak kecil lagi yang masih bisa main-main makanya aku mantap ingin menyusun rencana masa depanku membangun kantor sendiri sesuai dengan keinginanku. Yah, walaupun mungkin agak sedikit terlambat.” Jelas Rangga panjang lebar. Rencana yang terpikirkan sejak lama namun membutuhkan waktu banyak untuk terealisasikan.

Kali ini Rangga serius dengan rencana itu. Dulu, saat memikirkan akan memulak bisnis kafe bersama Bobby, Rangga tidak seserius ini dan tidak terlalu banyak mempersiapkan karena semua diatur oleh Bobby. Namun sekarang Rangga bertekad akan membangun kantornya sendiri dengan uang dan usahanya sendiri.

Kamu yakin, Ga? Terus Hesa sudah tahu?” Tanya Mamanya lagi.

“Aku belum ngomong sama siapa-siapa, kecuali Mama.” Bobby dan Tian bahkan belum Rangga beri tahu. Bobby sedang dalam masalah karena batalnya pertunangannya secara mendadak lalu Tian yang sudah menikah membuat frekuensi bertemu mereka tidak sesering dulu. Setiap orang, kan punya kehidupan pribadinya masing-masing.

Rangga tidak punya kesempatan memberi tahunya, lagian ini bukan masalah yang seharusnya wajib Bobby dan Tian tahu.

Kalau kamu yakin, Mama akan dukung keputusan kamu. Kamu yang mau bangun kantormu sendiri atau gimana? Tempatnya sudah dapat? Kamu punya modalnya? Harga tanah, kan sekarang mahal banget, Ga.”

“Ini sih masih rencana awal aku saja, Ma, jadi untuk sementara aku mau sewa gedung aja dulu lagian zaman sekarang memulai usaha harus siap menghadapi pasang surut dan kemungkinan bisnis tidak berjalan baik. Apa lagi kalau cuma biro kecil-kecilan yang masih baru dan belum dikenal banyak orang." Tambah Rangga.

Tapi kamu punya modal, kan, Ga? Sewa kantor juga butuh uang banyak, kan?” Tanyanya lagi. Fifi paham yang namanya usaha atau bisnis apapun pasti butuh modal.

“Insya Allah punya, Ma.” Lalu melanjutkan, “Aku mau jual mobilku. Hasilnya akan aku pakai untuk sewa gedung dan selebihnya untuk beli apartemen. Pasti cukup. Kalau tidak cukup, terpaksa aku jual motorku juga dan cari motor yang harganya nggak mahal-mahal banget buat aku pakai. Susah juga kalau aku pergi pulangnya naik ojek.” Jawab Rangga dengan harapan akan ada yang membeli mobilnya dengan harga pas.

Tepat saat ia kembali dari bali, Rangga sudah menemui teman Dion yang katanya tertarik membeli mobilnya. Rangga juga sudah memperlihatkan mobilnya secara langsung tapi teman Dion hanya sanggup membeli dengan harga seperdua dari harga asli yang membuat Rangga langsung mundur.

Sebenarnya Rangga sering mempertimbangkan apa perlu ia menjual mobilnya sebagai modal bisnis yang entah akan berjalan baik atau tidak, dan walaupun tidak seluruhnya ikhlas, tapi tidak ada cara lain.

Jumlah tabungannya tidak akan cukup menutupi harga sewa gedung pertahun, belum lagi ia butuh apartemen untuk ia tinggali. Tinggal di lantai dua kafe yang super sempit membuatnya kurang nyaman dan terasa sesak.

Lagian membeli apartemen tidak akan merugikannya, kalaupun kelak tidak ia tinggali, ia bisa menyewakannya dan tetap mendapat bayaran.

Mobil kesayanganmu? Mama nggak salah dengar, kan?”

“Nggak, Ma. Aku serius. Aku malah udah pasang iklannya di koran."

Kamu nggak perlu sampai jual mobil kesayangan kamu, itukan mobil impian kamu dan kamu beli dari hasil keringat kamu sendiri. Kalau masalah uang, Mama akan coba bantu bujuk Papa kamu. Siapa tahu Papa bisa…”

Sing Me A Love Song (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang