Chapter 16

331 43 1
                                    

"Kamu sudah puas sekarang?"

Pertanyaan penuh dengan nada sinis itu langsung memenuhi telinga Rangga tepat saat ia melewati ruang tamu.

Rencananya sore nanti Rangga dan Alvin akan pergi ke Bali selama dua hari untuk kepentingan cek lokasi proyek pembangunan hotel yang akan dimulai bulan depan. Makanya Rangga kembali ke rumah dengan niat mengemasi beberapa pakaian lalu langsung ke bandara.

Niat awalnya seperti itu tapi Rangga lantas berubah pikiran setelah mendapati Papanya menodongnya dengan wajah memerah karena marah.

Lupakan tentang pekerjaan dan Bali. Perang keluarga entah jilid ke berapa rupanya akan kembali terjadi hari ini.

"Jadi kamu kerja jadi tukang bangunan lagi, huh?" Papanya menghadangnya dengan bertolak pinggang. Kacamata yang biasa ia pakai sudah terlempar entah dimana.

Rangga tidak menyangka kabar bahwa dirinya kembali bekerja bersama Hesa bisa membuat Papanya yang ambisius meninggalkan kantor dan pekerjaannya yang sangat penting itu. Ini bahkan masih pukul 2 siang.

"Iya. Sejak awal aku memang tidak akan pernah berhenti jadi tukang bangunan. Aku bersumpah." Kata Rangga, ia mengikuti cara Papanya menyebut pekerjaannya sebagai tukang bangunan.

Rangga menantang Papanya dengan tenang dan nyaris tanpa ekspresi tapi jawabannya itu sukses membuat Papanya menggertakkan gigi menahan ledakan amarah.

"Kamu itu benar-benar anak pembangkang. Sudah berulang kali Papa bilang kalau pekerjaan kamu itu nggak ada gunanya. Papa bisa kasih kamu jabatan bagus dan tempat kerja yang jauh lebih nyaman tapi kamu masih saja ngotot kerja di sana. Sebenarnya apa yang kamu cari? huh?"

"Yang aku cari?" Rangga menyerigai. Yang ia cari adalah jalan agar bisa keluar dari semua keruwetan tanpa harus mengikuti perintah Papanya. Hanya itu. Tapi kenapa semua malah jadi semakin sulit?

"Kamu tertawa? Kamu menertawakan Papa?" Kata Papanya skeptis.

"Iya. Papa itu lucu banget tahu nggak? Selalu membawa masalah sepele ini berkali-kali namun pada akhirnya Papa nggak pernah menang atas aku. Dan lucunya Papa selalu mencoba meski selalu kalah berkali-kali. Kapan Papa akan sadar dan menyerah untuk mengatur hidupku?"

"Papa nggak tahu kamu harus diapain lagi biar mengerti." Papanya memegang belakang kepalanya seakan ia tengah menderita sakit kepala hebat.

"Kalau begitu, jadilah seperti biasa. Hidup dengan tenang dan anggap aku tidak ada meski kita tinggal di atap yang sama. Bukannya Papa pernah bilang sudah tidak peduli lagi sama aku?"

"Seandainya bisa, pasti Papa sudah lakukan. Tapi tiap kali mengingat kalau kamu satu-satunya keturunan Papa, Papa selalu gagal dan gagal."

Rangga menyugar rambutnya, "Keturunan yah? Kenapa nggak buat lagi keturunan yang banyak dengan perempuan lain di luar sana? Itu, kan keahlian Papa."

Plak

Kepala Rangga terlempar ke kiri. Tangan kanannya lantas memegangi pipi yang baru saja mendapat pukulan keras dari Papanya.

Oke, ini adalah pukulan pertama yang Rangga dapat seumur hidup dari Papanya. Tapi bekas pukulan Papanya di pipi tidak jauh lebih sakit daripada ulu hatinya. Nyerinya berkali lipat lebih  besar dari sebelumnya.

"Jaga ucapan kamu." Papanya menunjuk wajah Rangga dengan telunjuknya.

Rangga balas menatap Papanya, "Kenapa? Ucapanku tidak salah. Aku hanya mengingatkan bagaimana kelakuan Papa. Mungkin Papa lupa bagaimana Papa selingkuh dengan perempuan lain dibelakang istri sah Papa."

Pukulan kedua hampir saja Papanya layangkan jika saja Mamanya tidak muncul sekarang.

"Rangga, kamu yang sopan bicara sama Papamu." Fifi yang memang sedari tadi menguping pembicaraan mereka di balik dinding akhirnya mendekati keduanya dengan kursi rodanya.

Sing Me A Love Song (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang