Dua gelas americano dingin dibawa Ansel dengan hati-hati ke arah meja mereka. Lebih dari dua puluh empat jam terjaga sudah tak sehat bagi dua temannya yang menujukkan raut suntuk bukan kepalang. Ia meletakkan kopi pekat itu ke hadapan Dewa dan Juna yang langsung menyesep minuman pahit itu.
"Hah... anjir lega gue akhirnya dapet kopi sedap." Lepas Juna yang langsung menegak hampir setengah gelas langsung.
Sementara Dewa hanya mengangguk setuju sambil mengisap rokoknya. Entah sudah berapa lama ia tak menyentuh benda bernikotin itu karena disibukkan oleh urusan Langit. Akhirnya Ansel datang dan menyeret mereka keluar sebentar. Menitipkan Langit pada Bara dan Saga yang semalam dipaksa tidur di rumah.
"Langit gimana? Katanya kemarin drop pas bokap nyokapnya dateng?" Tanya pemuda bermata tipis itu sambil menyesap caramel macchiato-nya.
Sebatang rokok lagi tersulut dan disesap Juna sebelum membahas hal yang selama hampir sepekan ini memenuhi benak mereka serumah.
"Stadium tiga, disuruh kemo nggak mau. Gue berharap ortunya dateng bikin situasi lebih baik, eh malah bikin situasi makin runyam. Bangke lah." Keluh pemuda berkulit tan itu.
Dewa berdecak. Masih kesal membayangkan kejadian dua hari lalu yang membuat Langit malah makin buruk.
"Gue kalo jadi Langit udah minggat dari tau kalo bokap nyokap gue udah se-toxic itu. Makin dilanjut makin gila." Imbuhnya.
Ansel hanya bisa diam dan mendengar. Tentunya ia tau cerita-cerita tentang Langit dan keluarganya dari Juna. Namun tak sampai akal akan memperumit masalah Langit kali ini.
Alisnya terangkat ketika merasa Juna menepuknya. Pemuda itu menunjuk kepalanya singkat namun Ansel dengan sigap berdiri dari duduknya dan memposisikan diri di belakang Juna. Tangannya langsung memijit pelan kepala pemuda yang sudah beberapa bulan ini mengisi harinya.
Dewa yang melihat interaksi itu pun tersenyum tipis. Sudah biasa terjadi akhir-akhir ini dan bukan pemandangan yang asing lagi.
"Terus rencana lo pada apa kalo dia emang nggak mau kemo? Diturutin aja gitu?" Ansel kembali berujar.
Dewa dan Juna seling bertatapan kosong. Keduanya belum menemukan titik temu. Membujuk Langit untuk pergi ke kampus aja sulit padahal itu adalah kewajiban ringan, apalagi membujuk anak itu untuk melakukan kemotrapi?
"Kalo dipaksa aja gitu gimana ya? Kayak nggak usah bilang dia dikemo tapi tau-tau udah ditusukin jarum banyak. Bilang aja pengobatan biasa." Celetuk Juna.
Dewa langsung melemparkan bungkus sedotan sementara Ansel langsung mendorong kepala pemuda itu keras. Membuat si korban bersungut-sungut.
"Kalo sampe ujung-ujungnya dia malah yang nyuntikin dokternya obat kemo lo yang tanggung jawab ya, Bang?" Ucap Dewa.
"Tau. Mana ada begitu, njing. Rumah sakit juga nggak mau kasih treatment kalo tanpa persetujuan pasiennya kali."
Juna mencibir, "Ya kan pemikiran doang. Nanggapinnya nggak usah pake gas dong gaes."
Dewa dan Ansel kembali ke mode berpikir, mengabaikan hasrat ingin melampiaskan emosi akan mulut dan otak Juna yang melenceng kemana-mana.
"Gue sih cuma bisa andelin Bara."
Ansel merengut mendengar pernyataan Dewa, "Buat ngebujuk Langit? Yakin lo mereka nggak berantem? Katanya kemarin ribut?"
Juna menunjuk Dewa dengan antusias, matanya berbinar seakan menyetujui ide sahabatnya itu, "Itu! Bener sih. Bara kadang ngawur ngomongnya tapi ajaibnya bisa ngelabuhin pendirian Langit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...