"Hah... pegel banget punggung gue."
Bara merebahkan tubuh lelahnya ke sofa di ruangan favoritnya, lab tersembunyi. Saga memberinya segelas kopi dingin yang diterima dengan antusias oleh anak itu. Hari ini ia bersedia menawarkan diri untuk menemani Bara meracik produk di lab-nya selama seharian penuh. Alhasil, disinilah mereka, masih berkutat dalam ruangan bawah tanah itu lebih dari lima belas jam.
"Bang Juna kemana dah? Kok nggak balik-balik." Komentar si bocah. Juna turut serta mendampingi Bara, namun keluar dua jam yang lalu.
"Beli makan sih bilangnya, tapi ya lo tau lah. Kalo beli makan sama yang sono kan pake ngobrol cantik dulu."
Saga duduk dengan sekotak makaroni asin lalu menyalakan TV di ruangan. Berita yang baru panas diperbincangkan seputar kriminal langsung menyapa. Sementara itu, Bara sibuk memainkan ponselnya yang ia tinggal belasan jam lamanya. Memeriksa beberapa notifikasi yang tertinggal dan membalas pesan disana.
Alisnya mengerut ketika mendapat sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Nomor Jakarta dengan awalan angka 021.
"Halo?" Jawabnya sambil mendudukkan diri hingga menarik perhatian Saga di sampingnya.
"Iya, benar, ini Bara. Dengan siapa ya?" Bara bercakap dengan volume TV yang sudah diminimalkan Saga.
Di saat bersamaan Juna datang membawa sekantong penuh makanan titipan. Ia memelankan langkahnya ketika menyadari Bara tengan melakukan panggilan.
"Oh, iya, Pak... Kenapa ya?"
Bara makin mengerut bingung ketika mendapati yang menelponnya adalah nomor kantor kompleks rumah orang tuanya di Jakarta.
Juna duduk di dekat Bara dengan tampang ingin tau, serupa dengan Saga karena raut Bara seserius itu.
"Maksudnya?"
Raut Bara yang makin tak enak membuat Juna mengode anak itu untuk mengaktifkan speaker agar dia bisa turut mendengar. Namun seakan membutakan pandangan, Bara menatap kosong lantai ruangan sambil mendengar orang di seberang bicara.
Juna dan Saga menangkap sesuatu yang tak beres ketika kedua bahu pemuda itu menurun dan punggungnya melemas hingga membentur sandaran sofa cukup keras. Juna langsung mengambil alih ponsel Bara yang didapat tanpa perlawanan. Ia menekan tombol speaker.
"Halo? Mas Bara? Apakah masih disana?"
"Maaf, ini temannya Bara. Ada apa ya?" Juna berbicara sementara Saga ikut fokus.
"Baik. Kami dari manajemen perumahan Bukit Indah ingin memberitahukan Bapak Sadajiwa dan istri serta anaknya bernama Rangga Sadajiwa ditemukan tewas sore ini di kediamannya, Mas. Kami menunggu Mas Bara untuk prosesinya, sekarang ini ketiga jenazah sedang dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut."
Bagaikan tersambar petir, Juna juga mendapatkan respons yang sama dengan Bara. Sama-sama mematung dan tak tau harus berbuat apa. Sementara Saga langsung menatap Bara penuh keterkejutan. Menatap prihatin pemuda yang kini masih hampa tatapannya.
"Oke, terima kasih. Hari ini juga kami ke Jakarta. Tolong jenazah jangan diapa-apakan dulu." Ujar Juna lalu menutup panggilan.
Ia menatap pedih Bara yang kelihatannya masih sangat shock. Namun apa daya, nasib memang selalu ingin bertemu dengan terburu-buru. Tak peduli si penerimanya siap atau tidak.
"Kita ke Jakarta malem ini juga." Titah Juna.
***
Siang itu gerimis menyapa tanah Jakarta. Seakan semesta ikut berduka akan kepedihan tiba-tiba yang dialami Bara. Pemuda manis yang selalu tersenyum dan tertawa itu kali ini tak menampakkan sedikitpun sinarnya. Bibirnya bahkan jarang terbuka dan terangkat. Sapaan dan ucapan duka dari kerabat pun ia telan mentah-mentah dengan anggukan tanpa senyuman. Bara berduka, dan ia terkejut akan kedukaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...