Chapter 15

1.3K 144 23
                                    

Ketiga pasang mata yang sejak tadi juga tersirat rasa khawatir yang mendalam mengikuti arah gerakan Langit yang mondar-mandir di depan pintu kamar Dewa. Sudah sejam sejak dokter Kris masuk bersama dua asistennya untuk menangani si abang, tapi tak ada suara atau pemberitahuan dari sana.

"Ngit, diem dulu napa? Pusing kepala gue liatin lo bolak-balik nggak jelas." Bara berujar sambil mengisap rokok di tangan. Ia duduk  anak tangga teratas sambil menyandarkan kepala pada tralis besi coklat di sampingnya.

Langit tak menghiraukan Bara. Ia terus saja berjalan kesana kemari sambil menggigiti jari kukunya yang setengah sudah super pendek, kebiasaannya jika tengah dilanda kepanikan luar biasa.

"Ngit, udah kayak setrikaan laundy sebelah tau, gak? Bentar lagi itu ubin panas kalo lo nggak berhenti." Kali ini Juna yang bersandar di dinding depan kamar Dewa menimbrung.

"Tck! Kenapa sih? Kalo pusing ya merem, pegangan tuh sama kepala Bara. Nih, atau mau pegangan sama gue, ikutan mondar-mandir." Jawabnya sambil menyodorkan tangannya kesal.

Saga datang di timing yang tepat dengan beberapa cangkir kopi hangat di nampan yang ia bawa dari dapur. Kemudian, dibagikannya kopi itu pada Bara, Juna dan Langit. Ia juga mengeluarkan rokoknya dan menyulutnya di sebelah Langit yang tadi menerima kopinya lalu lanjut berjalan layaknya setrika di depan pintu kamar Dewa.

"Nih, sebat dulu, biar tenangan dikit." Ujar Saga sambil menyodorkan rokok yang sudah menyala pada Langit. 

Pemuda itu menerima dengan penuh terima kasih, lalu berhenti dari jalannya dan akhirnya mendekat ke arah Bara.

"Lah, bisa berhenti juga lo akhirnya?" Ucap Bara usai menyesap kopi hangat buatan Saga.

Langit menunjuk kotak asbak di samping temannya itu, "Kalo modar-mandir abunya kemana-mana, dimarah Bang Dewa besok gue. Depan kamar dia lagi." Jawab Langit lalu bersandar di teralis tangga dan menatap pintu kayu yang memisahkannya dengan Dewa.

Juna melirik Saga yang kini berdiri sambil bersandar di sampingnya. Ia mengulas senyum tipis, seolah mengucapkan 'makasih banget bisa stop Langit gerak nggak jelas.' Saga pun mengangguk mengerti lalu beralih ikut menyalakan rokoknya.

Tak lama, dengan total waktu menunggu satu jam empat puluh lima menit, Dokter Kris keluar dari kamar Dewa. Beberapa asistennya langsung turun ke bawah, meninggalkan sang dokter yang langsung dikerubung oleh keempat penghuni rumah yang sedari tadi berjaga di depan pintu.

"Buset...enaknya bisa nunggu sambil ngerokok, nggak kayak kalo di UGD." Ucap Dokter itu bercanda, berusaha mencairkan suasana sekaligus menyindir.

"Kalo di ruang UGD boleh nanganin pasien sambil sebat, gue yakin Om bakal langsung nyalain rokok." Bara berujar santai.

"Bang Dewa gimana, Om?" Tanya Langit yang tidak sedang dalam mode bercanda.

Dokter Kris, paman Bara sekaligus dokter langganan mereka, menatap Langit gemas karena terlihat sekali anak itu cemas luar biasa. Maniknya terlihat merah, menahan kantuk namun juga menahan tangis, entah kenapa. Tapi Kris tau, Dewa dan Langit memiliki ikatan terkuat di antara mereka berempat.

"Masih tidur, tapi dua peluru yang ada di pinggang sama lengan atasnya sudah keluar. Darahnya memang hilang banyak, tapi Om bawa stok darah yang cukup kok. Udah siap dari telfon Bara kalo yang luka Dewa, udah pasti darahnya banjir." 

Langit melongok ke arah ranjang Dewa di dalam, terlihat si kakak terbaring disana dengan mata tertutup.

"Bangun kapan, Om?" Tanya Juna.

"Ya, kalo Dewa paling besok pagi udah jalan-jalan seenaknya. Hampir kayak Langit dia kadang terlihat nggak peka sama perih atau sakit, padahal imun aja dia sama sakit, kebanyakan berantem. Tapi kalo besok emang langsung jalan, tolong diawasin dulu, ya. Lukanya yang parah di punggung, untungnya tembakan mepet ke pinggang, tapi memang sampai tembus ke pinggang depan, jadi bahaya kalo gerak terlalu banyak."

Devil May Care ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang