"Ish! Nggak gitu, Bang. Lecek semua, bangsat!"
Kegusaran Langit terlihat jelas dari pergerakannya pagi itu. Duduk di bangsal kembali karena hari ini jadwal kemo yang ketiga. Rautnya kesal sekaligus gemas menaut pada Juna yang sejak tadi duduk di sofa ujung sambil membungkus sesuatu, namun tidak berjalan baik. Kertas kado yang sisa sedikit justru robek dibuatnya.
"Bang Saga!"
Langit mensumon Saga yang masih sibuk menuntaskan bisnis alamnya di kamar mandi. Sementara Dewa, hanya rebahan di sofa tanpa peduli. Lagipula bungkus membungkus hadiah juga bukan talentanya sejak kecil. Lebih parah dari Juna.
"Ah! Siniin aja dah! Lo mah nggak bisa diandelin!"
Bocah itu memajukan tubuhnya yang langsung didorong mundur kembali oleh suster yang kini sedang memasang selang yang tersambung ke tangannya. Langit sampai lupa ia tengah dijadikan robot kembali.
Juna menyerah. Ia merobek semua kertas yang sudah tertempel lalu membuangnya ke tempat sampah. Membuat Langit langsung melotot tak percaya padanya.
"Udahlah, gini aja dikasih. Toh ntar juga dia buka di depan kita langsung, ngapain pake dibungkus." Juna membela diri lalu kembali duduk di sofa dan meletakkan benda panjang itu ke bawahnya. Jaga-jaga jika si pemilik hadiah datang.
Hari ini adalah hari ulang tahun Bara. Mereka melakukan tradisi membelikan hadiah, namun bedanya kali ini mereka semua patungan untuk membeli satu hadiah besar. Sedangkan yang bertambah usia bangun kesiangan dan ditinggal di rumah. Kabarnya terakhirnya sudah bangun dan hampir tiba di rumah sakit.
Saga tiba-tiba keluar bukan dari pintu toilet tapi dari pintu ruang rawat. Entah sejak kapan pemuda itu keluar. Ia duduk cepat ke samping Juna.
"Bara udah jalan di lorong." Beritanya.
Yang lain pun mengangguk. Dewa mematikan ponselnya dan pura-pura terlelap. Juna membuka laptop di pangkuannya sementara Saga menyantap mie gelasnya sambil menonton berita. Langit juga langsung sibuk dengan game di ponselnya.
Suster yang masih di dalam ruangan hanya bisa tersenyum geli. Ia membereskan alat-alat medis lalu berjalan keluar. Disempatkannya melirik ke arah Juna yang juga meliriknya.
"Makasih, Sus. Kalo udah kelar kerja kabarin." Ucap Juna lalu si suster yang menjadi teman ranjangnya semalam tersenyum malu dan langsung keluar.
Keluarnya si suster dibarengi dengan masuknya Bara dengan tampang segar bugar. Ia sempat tersenyum sebentar pada Suster Sabrina yang hendak keluar. Lalu Bara melangkah masuk dengan senyum sumringahnya.
"Good morning, orang-orang nggak ada hidup!" Salamnya dengan semangat.
Alisnya mengerut ketika hanya menerima jawaban deheman dari Langit dan Saga. Sangat tidak responsif sekali teman-temannya ini di hari bahagianya. Ia pun berjalan ke arah Langit yang terlihat tak bisa diganggu gugat dengan ponselnya.
"Ngit, ada yang beda nggak sih hari ini?" Pancingnya sambil mencuri sebuah stroberi dari piring nakas Langit.
Langit hanya mengedikkan bahunya cuek. Mengundang dengusan pelan dari Bara, "Lo liat gue, dong." Timpal Bara lagi.
Mata bocah di atas bangsal itu tak teralihkan. Bahkan tak ada respon darinya beberapa saat kemudian. Seakan Bara tidak terlihat di sebelahnya. Merasa tak ada harapan, Bara menghampiri Juna yang terlihat sibuk mengetik. Entah apa. Tumben sekali orang itu membuka laptop di pagi hari.
"Bang! Kayak ada yang beda nggak sih dari gue hari ini?" Tanyanya sambil duduk di sandaran tangan sofa.
Juna melirik Bara sekilas tanpa minat lalu menggeleng, "Sama aja. Berantakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...