Chapter 42

960 152 62
                                    

Mohon maaf kalo banyak typo, mohon dimaklumi ya :)

.

.


Banyak yang bilang kemotrapi adalah sebuah jalan penentuan hidup seorang penderita kanker. Banyak adegan film dan novel yang menggambarkan kemotrapi adalah sebuah simbol perjuangan atas keputusasaan hidup dengan kanker. Semua pasien yang mengalaminya kebanyakan orang berparas pasi, tubuh kurus kerontang, mata cekung menghitam, hampir terlihat seperti mayat hidup yang disemati kupluk penyembunyi kebotakan.

Stigma fiktif yang dipatahkan oleh pemuda yang akan kehilangan matanya ketika tersenyum itu. Langit justru tak seperti pasien pada umumnya. Mengenakan hoodie kuning santainya dengan sebuah bokser kesayangan. Duduk di atas ranjang dengan Dewa di sisi kiri hanya menemani, dan Bara di sisi kanan yang sama-sama memegang stik PS terhubung ke TV kamar rawatnya.

"Yes!! Mampus!!" 

"Bangsat! Jingan, curang lo!" Umpat Langit sambil membanting stik PS-nya ke arah Bara. 

"Dih, kalo nggak bisa main nggak usah marah, goblok." Komentar Bara.

"Match terakhir, sampe gue kalah, mandul lo, njing!" Balas Langit lalu meraih stiknya sendiri yang terjatuh ke lantai.

Langit menaikkan tudung hoodie-nya ketika beberapa suster mulai masuk ke ruang rawatnya pagi itu. Beberapa menahan tawa karena sudah mendengar dua bocah yang terkenal akan mulut kotor mereka beradu mulut sepagi ini. Hari ini adalah hari pertama kemotrapinya. Keempat teman serumahnya juga sudah berdiri di ruangan yang sama sejak semalam. Menjaga mental yang stabil bagi anak itu.

Dewa duduk santai di bangku samping ranjang Langit, dengan kopi hitam panas dan sebuah koran bekas bacaannya sudah terlipat. Ia menyingkir sebentar, memberi ruang bagi para perawat untuk mengeset semua keperluan kemotrapi hari ini. Sementara berpindah posisi duduk di samping Juna yang menguasai satu sofa bed sendirian, hanya menyisakan Saga yang duduk di paling ujung, itu pun harus terpaksa memangku kaki pemuda itu.

Juna membalik posisinya menjadi miring, menarik paha Dewa sebagai bantal. Matanya mengikuti pergerakan beberapa suster yang masih sibuk dengan alat entah apa ia sendiri tak familiar. Matanya memejam beberapa detik, lalu terbuka beberapa detik kemudian.

"Tck! Kok nggak bisa tidur sih gue!" Kesalnya lalu membalik posisi ke arah atas lagi.

Langit dengan tangan dan mata yang masih sibuk ke layar TV pun menyeletuk, "Kalo udah nyoba tidur ngadep kanan, kiri, depan, belakang, tetep susah tidur, ngadep ke Maha Kuasa aja, Bang."

Semua yang ada di ruangan itu seketika tertawa. Sementara Juna melirik Langit tajam sambil mendengus asam. 

"Kok gitu kamu sama kakaknya, nanti masuk neraka loh." Ujar suster yang tadi juga ikut tertawa sambil masih sibuk menekan sesuatu di alat depannya.

"Nggak papa masuk neraka, Sus. Yang penting hasil usaha sendiri mah." Balas Langit yang masih menautkan pandangan ke game-nya.

Dewa terkekeh, "Ngomong sembarangan lo. Kalo didenger yang di atas terus dikabulin mampus."

"Udah pasti itu mah. Titisan demitnya di samping gue nih." Balas cowok itu langsung membuat Bara melotot, namun tetap melotot ke arah TV karena match belum usai.

Pemuda berlesung pipit dengan rambut acak-acakan itu menunjuk dirinya, "Gue?!"

"Ya siapa lagi masa susternya. Cantik-cantik gitu, lo doang yang burik." Balas Juna lalu beralih duduk dan melemparkan senyum manis ke dua suster yang kini agak tersipu.

Devil May Care ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang