Saga berdiri dengan tegap dan pasrah di depan bangunan lama itu. Berkali-kali ia menghela nafas lelah. Sungguh. Apa yang dikatakan Kai kemarin benar-benar mengenainya. Ia juga tak bisa menghiraukan bahwa separuh dari dirinya sudah terbawa suasana nyaman rumah Langit. Bahkan saat ini, ia berdiri dengan tidak ikhlas di depan kapel untuk mencari lab atau apapun yang disembunyikan Bara di dalam bangunan itu.
"Sadar, Ga! Lo tuh polisi! Ini yang harusnya dari sebulan lalu lo lakuin!" Ujarnya pada dirinya sendiri. Mencoba membangun motivasi baginya untuk dapat melangkah ke dalam dan melaksanakan tugas.
Ia kembali menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mencoba menata emosi dan tekad yang kuat untuk segera menyelesaikan misi. Saga pun melangkah ke dalam. Ia membawa sebungkus nasi di tas yang ia tenteng, alibi yang cocok jika bertemu Bara.
Suasana kapel sore itu tak terlalu ramai. Bahkan bisa terbilang sepi. Tak ada seorang pun yang ia temui ketika kakinya melangkah ke dalam. Melalui pintu kecil di samping kapel, Saga masuk ke area taman kecil di belakang bangunan tua itu.
Ia menelusuri koridor kapel yang ternyata cukup memanjang ke dalam. Di sampingnya terdapat aula cukup luas yang tertutup setengah. Kepalanya melongok masuk, tetap saja, tak didapati seorang pun disana. Cahaya senja sudah menyeruak masuk ke dalam hingga memberi warna jingga ke bangunan dan tembok-tembok kapel.
Sosok Saga yang berjalan pelan pun tak luput dari sinar oranye yang dipancarkan oleh sang surya yang sudah mau kembali ke peraduan. Hingga kini Saga akhirnya melangkah ke bagian utama kapel. Bagian dimana berjejer banyak kursi yang menyambung dengan bantalan di bagian kaki, tempat para umat berlutut.
Ruangan besar itu gelap. Belum ada satu pun lampu menyela. Ralat, hanya ada satu cahaya merah berpendar di altar. Menyinari tabernakel emas disana. Mengikuti instingnya, Saga melangkah ke arah satu pintu di sudut ruangan. Pintu yang menjadi pembatas antara ruangan besar dan sebuah ruangan kecil tempat umat mengakui dosanya.
Tak ada tanda kehidupan dari dalam ruangan. Namun namanya juga Sagara. Belum melihat maka belum akan percaya. Tangannya menggenggam engsel pintu, berniat untuk membuka dan mengetahui isinya.
"Saga?"
Pergerakannya otomatis terhenti ketika sebuah suara menyuarakan namanya. Saga terdiam sejenak untuk mengontrol ekspresi lalu menoleh dengan santai. Senyumnya otomatis mengembang ketika mengenali orang itu.
"Eh, Kak Jana." Sapanya.
Jana berdiri dengan alis sebelah terangkat dan tangan dimasukkan ke saku jubahnya. Sore itu Jana masih mengenakan seragam biarawatinya. Ia menatap Saga agak bingung.
"Tumben kesini. Nyari siapa?" Tanyanya kembali.
Saga melebarkan senyumnya lalu mengacungkan tas plastik yang sedari tadi ia genggam.
"Ini, bawain makanan buat Bara. Kata Juna dari pagi ada di kapel." Ujarnya santai yang memang kenyataan Juna memberi taunya jika Bara akan seharian penuh berada di kapel. Tepatnya di labnya yang tak ia ketahui berada di sebelah mana.
Jana mengangguk-angguk mengerti, "Kok nggak langsung ke tempatnya aja?" Tanya perempuan itu kembali.
"Aku nggak tau tempatnya dimana, Kak. Kan selama ini nganter makanan dia juga cuma diluar." Jawab Saga.
"Oh iya juga ya. Kenapa nggak ditelfon aja?" Tanya Jana.
Saga memutar otaknya, "Nggak bawa hape, Kak. Tadi aku inisiatif aja soalnya lagi makan di burjo ujung gang. Jadi ya bungkusin sekalian langganan Bara."
"Oh gitu, yaudah yuk aku anter aja."
Saga bersorak dalam hati. Tak sesulit itu ternyata. Ia pun mengangguk dan berjalan bersama dengan Jana keluar ruangan misa kapel itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...