Chapter 35

1.1K 154 105
                                    

Genjrengan gitar asal itu masih terdengar sejak pukul empat dini hari. Posisinya pun masih sama, tak bergeser barang sejengkal pun. Langit duduk manis di single sofa kamarnya, membuka jendela lebar di kamarnya yang menghadap ke depan, dengan sebuah asbak berisi beberapa puntung rokok.

Jika keadaan biasa, sudah pasti asbak itu berisi full. Namun apalah daya, kondisi sudah tak mendukung. Pemuda bermata panda itu menyulut sebatang lagi untuk mengakhiri pagi dan bersiap untuk berangkat ke kampus.

Matanya melirik jam dinding di kamar, pukul enam pagi. Langit Jogja pagi itu mendung hingga ia tak bisa membedakan apakah matahari sudah bangkit atau masih di peraduan.

"Ekhem! Uhuk! Uhuk!"

Bibirnya mencebik kesal. Ia mencuri satu sesapan lagi dengan cuek dan meletakkan gitarnya asal.

Tangannya meraih gelas berisi campuran anggur merah dan bir bintang, teman begadangnya sejak semalam.

"Uhuk! Uhuk! Bangsat!"

Langut menyerah. Ia akhirnya memadamkan rokok yang baru dua kali dihisapnya. Rasa sesak tak nyaman itu kembali hinggap di dadanya.

Tangannya menepuk-nepuk sedikit kasar bagian dadanya yang makin terasa terhimpit. Tarikan nafasnya semakin terdengar menyakitkan, namun hanya rasa tak nyaman yang bisa ia rasakan di dada.

Jika saja Langit peka terhadap sakit, sudah dipastikan tenggorokannya sakit dan perih bukan main. Tidak hanya rasa sesak berkelanjutan seperti yang dirasakannnya sekarang.

Langit berlari tergopoh ke arah kamar mandi ketika sesuatu terasa ingin keluar melewati tenggorokannya.

"Hoek!"

Jemarinya memutih, mencebgkram pinggiran kloset cukup kencang. Muntah adalah gal yang paling ia benci. Apalagi muntah disertai darah yang akhir-akhir ini sering dialaminya.

Warna merah pekat memenuhi klosetnya. Bau alkohol bercampur anyir pun menyeruak. Muntahnya belum selesai. Langit masih merasa ada yang mau menyeruak keluar lagi. Matanya memejam, menahan rasa yang tak busa ia deskripsikan kali ini.

"Ngit! Kelas!"

Bara tiba-tiba membuka pintu kamar sahabatnya. Namun alisnya mengerut begitu mendapati ruangan itu tak berpenghuni. Padahal bau nikotin masih pekat menyelubungi kamar.

Bocah itu melangkah masuk mengitari kamar Langit. Tangannya mengangkat gelas di dekat jendela yang masih terisi setengah campuran alkohol langganannya. Mencuri beberapa teguk untuk mengawali pagi beratnya.

Suara aneh ditangkapnya muncul dari arah toilet. Bara pun menghampiri ruangan dengan  pintu terbuka itu. Suara berisik antara kucurab air dan Langit yang bersautan membuat Bara membuka pintu tak terkunci itu.

Langit masih bersandar ke arah kloset debgan mata terpejam. Keningnya basah, dengan kerutan yang menunjukkan bahwa pemuda itu sepertinya sedang tak baik-baik saja. Belum lagi warna bibir piasnya tertutup dengan cairan merah. Kali ini Bara ikut mengernyit penuh tanya.

"Ngit?"

Langit terkesiap. Matanya melirik Bara cepat sambil menekan tombol flush di toilet. Sedetik kemudian air menyapu habis cairan merah di dalam sana.

"Uhuk! Ngapain lo?" Jawabnya dengan suara serak tak karuan sambil terbatuk menyakitkan.

Langit berdiri dibantu dengan topangan kecang pada tembok sebelahnya dan langsung menuju ke arah wastafel. Menyapu bersih bibirnya yang diselimuti cairan merah oekat mencurigakan bagi Bara.

"Lo yang ngapain?" Tanya Bara masuk tanpa permisi dan melirik kloset yang sudah bersih.

Manik kelam Langut melirij temannya itu sekilas dari pantulan kaca sambil sibuk berkumur, membersihkan mulutnya.

Devil May Care ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang