Saga mengunci mobilnya dan menyusul Bara yang sudah lebih dulu masuk ke lobby rumah sakit. Jam menunjuk pukul dua belas malam dan disinilah mereka, kembali ke bangunan penuh bau antiseptik.
Pemberitahuan Juna lewat group chat langsung membuat keduanya yang tengah asik menonton ulang Money Heist mendadak berhenti dan tancap gas menembus dinginnya malam Jogja yang masih gerimis.
"Sus, atas nama Langit ada dimana ya?" Tanya Bara pada seorang suster yang berjaga di depan UGD.
"Meidiawan Langit?"
Bara dan Saga mengangguk. Suster tersebut lantas menunjukkan salah satu bilik di ruang UGD yang hanya disekati tirai itu. Setelah menangkap lokasinya, Bara dan Saga pun langsung melangkah ke arah bilik yang tertutup.
Pemandangan Langit yang masih ditangani kakinya oleh seorang suster dengan berbagai perban dan Dewa yang mengawasi dari belakang dengan fokus ditangap mereka. Saga menepuk bahu Dewa sementara Bara berdiri di samping Langit, bersebrangan dengan suster yang tengah membalut kaki bocah itu dengan perban putih.
"Kenapa lagi kali ini?" Tanya Saga pada Dewa.
"Jatoh, gue kira kesleo dikit, taunya retak." Balas Dewa sambil menunjuk kaki kiri Langit.
"Cuma retak doang?" Timpal Bara sambil mengangkat kedua alisnya terkejut.
Dewa mengangguk.
"Yaelah, gue kira kakinya udah putus sebelah apa jempolnya udah ilang satu. Cetek banget lukanya, kurang... kurang..." Ucap Bara yang langsung dihadiahi jitakan keras dari Langit.
"Anjing!" Umpatnya tak terima kepalanya dianiaya.
"Gaya banget lo. Bangun tidur kaki lo kram aja nangisnya udah kayak kehilangan janin dalam kandungan, ini pake ngejek cidera gue kecil." Protes Langit tak terima dihina.
"Ya beda dong. Lo kan nggak normal, kalo masuk UGD minimal patah tulang sampe fraktur luar. Lah gue? Kesemutan dikit bisa dibawa ke UGD, ini badan gue udah kayak aset negara semua, harus dilindungi dari ujung kepala sampe ujung kaki." Balas Bara menantang.
"Idih, pede amat. Lo nanya sama pak camat juga kagak ngerti Bara siapa. Pake bawa-bawa aset negara. Mimpi jangan jauh-jauh nanti susah dicariin emak."
"Bukan emak gue yang suka nyariin gue tuh, tapi abang gue." Balas Bara.
"Ya bagus masih ada yang nyariin. Lah gue?" Balas Langit.
Bara diam. Dewa diam. Suster diam. Dark jokes dimulai.
"Udah... udah... cukup. Berantem lo berdua beloknya kejauhan, puter baliknya susah nanti." Sela Dewa akhirnya.
"Udah selesai ya, Mas. Jangan dibuat jalan jauh-jauh dulu. Bisa langsung pulang aja, tiga hari cek kesini." Ucap suster yang sejak tadi berada di antara mereka lalu undur diri.
"Bang Juna mana?" Tanya Bara, mengingat ia menyadari Juna sudah pasti ada dengan Dewa dan Langit sejak tadi. Apalagi mobil pemuda itu diparkir tepat di sebelah mobil Saga.
"Ada, lagi urus masalah lain." Ucap Dewa lalu memukul pelan kepala Langit yang hampir berdiri sendiri.
"Dibilangin sama suster jangan dipake jalan dulu ini malah langsung mau berdiri sendiri." Tegas Dewa yang kembali mendudukkan Langit di brankar.
"Ya kan berdiri doang, Bang. Belom jalan." Bela Langit tak terima.
"Abis berdiri mau ngapain emang?" Tanya Dewa meladeni.
"Ya duduk lagi lah, masak ngerangkak?"
Dewa hanya bisa memutar bola matanya malas sementara Bara mendorong punggung Langit cukup keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...