"Hoaamm!"
Saga meregangkan tangannya sambil melakukan sedikit pergangan hingga puas di depan kamar. Ia mengusap matanya yang masih berair dan berat. Namun apa daya, matahari sudah terbit dan suara ayam mulai menggelegar dari kebun belakang membuatnya terbangun dan terpanggil untuk melaksanakan tugas harian.
Ia mematikan seluruh lampu yang menyala sejak malam. Keadaan rumah masih sunyi, menandakan bahwa belum ada tanda-tanda kehidupan dari penghuni lain. Saga mengambil segelas air putih paginya sambil berjalan ke kulkas dan terbengong. Mata belonya menatap kosong kulkas, meratapi harus memasak apa untuk sarapan pagi ini dengan posisi rambut yang masih porak poranda.
"Bang, minta gelas satu."
Suara parau nan berat dari belakang lantas membuyarkan lamunan Saga. Pemuda itu memberikan sebuah gelas pada Dewa yang ada di seberang pantri. Keadaannya pun tak jauh berbeda dengan Saga. Bahkan mata Dewa jauh lebih membengkak dan rambutnya juga lebih hancur. Salahkan Langit dan Bara yang membawa berbotol-botol anggur merah semalam, dan tandas hanya dalam waktu tiga jam. Alhasil sudah pasti semua tewas paginya.
"Mau masak apa lo?" Tanya Dewa yang sudah duduk di dekat pantri sambil meneguk air putihnya. Pemuda itu menggaruk lehernya yang entah kenapa terasa gatal sambil menatap kosong Saga.
"Apa ya? Perut gue nggak enak banget nih. Setan emang itu anak dua." Ungkap Saga sambil sesekali memijit kepalanya yang berdenyut. Hangover melanda, kawan-kawan.
"Bikin sup ayam aja deh, yang gampang. Apa indomi rebus juga mantep." Usul Dewa dengan suaranya yang masih berat.
"Yaudah, lo nungguin tukang sayur gih, wortel abis. Bentar lagi juga lewat, hampir jam 6 soalnya." Titah Saga sambil mengeluarkan ayam dari kulkas.
Dewa hanya mengangguk sambil membawa gelasnya keluar. Masih dengan boxer dan kaos tanpa lengannya, ia keluar dari rumah dan menunggu di depan pagar sambil mematikan lampu gerbang yang masih menyala.
Tak dihiraukannya tatapan dan lirikan genit dari ibu-ibu komplek yang juga tengah menunggu tukang sayur lewat. Biasanya ia tak perlu repot-repot memasang tampang datar karena anak rumah lebih memilih pergi ke supermarket dibanding bergabung dengan ibu-ibu komplek. Namun apalah daya, perut sudah bergejolak dan tak ada pilihan lain bagi Dewa. Untungnya ia memasang penampilan yang amat tidak layak, setidaknya bisa mengurangi tatapan emak-emak genit yang seakan mulai menelanjanginya.
Setengah jam kemudian bau harum sup ayam sudah menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Saga dan Dewa pun sudah nampak lebih segar dari sebelumnya. Keduanya bergantian menjaga kompor selagi yang satu mencuci muka dan rambut yang penuh bau asap rokok.
"Eh, dua anak kucrut bukannya pada kelas pagi?" Tanya Saga setelah meletakkan panci sup ke atas meja makan.
"Iya kayaknya. Tolong bangunin, Bang. Gue masih ngaduk nasi nih." Ujar Dewa.
Saga lalu tancap gas ke lantai dua, tepatnya ke kamar Langit. Bara dan Langit tidur sekamar tadi malam karena tak mau kesepian katanya. Entahlah, padahal sehari-hari keduanya tidur terpisah. Efek alkohol memang kadang menambah momen kekeluargaan.
"Bar, Ngit. Bangun, katanya kelas pagi?"
Saga menggoyangkan bahu Bara yang tengah memeluk perut Langit sementara yang dipeluk menyampirkan kakinya melingkari pinggang Bara. Sekali goyang, tak terlihat pergerakan. Saga menghela nafas.
"Bar! Ngit!" Ucapnya lebih keras. Namun tetap tak terlihat pergerakan sama sekali. Saga lantas mengambil nafas.
"Woy! Bar! Ngit! Bangun!" Teriaknya sambil membanting tubuhnya di antara dua bocah itu yang membuat keduanya langsung berpencar dari kasur dan mendadak berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...