Kata orang, hari yang baik harusnya diawali dan diakhiri dengan senyum. Juna banyak membaca kalimat itu. Tiap hari. Tapi mana hari baiknya? Ia sudah berusaha tersenyum sejak pagi, bahkan menerima kenyataan di luar akal pun Juna tetap berusaha tersenyum. Hingga akhirnya malam ini otot bibirnya kaku. Mau senyum lagi tapi sudah mati rasa. Mana hari baiknya?
Jemarinya mematikan lampu mobil. Pada akhirnya hari berat tetap akan diakhiri dengan helaan penuh lelah. Seperti yang dilakukan Juna kali ini. Kepalanya bersandar pasrah ke jok mobil. Suara Dewa bercerita masih terngiang di kepala. Juna kembali melamun. Di dalam mobilnya yang terparkir di halaman depan kapel. Mencari Tuhan di setiap masalah berat terjadi? Bukan. Juna hanya butuh kakaknya yang tinggal di rumah persinggahan yang sama dengan Tuhan.
Kaki jenjang itu melangkah cukup berat memasuki gereja. Ia tidak perlu mengabari Jana karena sudah pasti di jam-jam ini gadis itu berada di taman belakang gereja. Dan benar saja. Ia menangkap sosok kakaknya duduk manis di bangku taman dengan rokok menyala di tangan.
"Astaga!"
Jana terkesiap ketika menemukan seonggok tubuh manusia langsung menyambar berbaring di pangkuannya. Hampir saja rokoknya terjatuh dan membakar rumput cantik gereja.
"Ish! Jun! Ngagetin aja lo!"
Kepedulian tak tersirat di wajah Juna. Suram masih menyelimuti paras eksotis itu. Membuat Jana menyatukan alisnya, merasa sang adik tengah dirundung mendung.
"Kenapa?" Tanyanya pelan dan memindahkan rokok ke tangan kiri, sementara tangan kanannya menyapu lembut rambut rambut legam milik Juna.
Nafas berat dibuang Juna. Matanya masih menatap langit malam yang entah mengapa sepemikiran dengannya. Mendung tanpa bintang dan cahaya.
"Capek."
Kerutan makin jelas menghiasi dahi Jana. Kata 'capek' konteksnya sangat banyak. Ia tak tau 'capek' yang mana yang dimaksud Juna.
"Hm? Gara-gara?"
Tak ada jawaban dari Juna. Pemuda itu sejenak melamun. Pikirannya kembali berjalan dengan sendiri tanpa izin dari si empunya. Mau cerita pun Juna tak tau harus mulai darimana. Masalahnya terlalu menumpuk hingga mau dikeluarkan satu per satu saja ia dilanda kebingungan.
Tubuhnya beralih duduk sambil dengan cepat merebut rokok sang kakak dan sengaja mengisapnya sendiri. Jana ingin protes namun sepertinya Juna sedang tak dalam mode bisa menerima omelan. Mau menagih cerita juga ia sudah tau pasti hal yang membuat adiknya pusing ini sulit untuk diceritakan. Alhasil, menunggu adalah jawaban yang paling tepat.
Keduanya saling diam. Bunyi jangkrik akhirnya menjadi background pengiring keheningan kakak beradik itu. Hingga akhirnya Juna bersuara.
"Kenapa hidup makin lama makin berat?"
Jana melirik adiknya sejenak, "Jadi capek gara-gara hidup berat?"
Lagi-lagi tak ada jawaban dari Juna. Pemuda itu malah sibuk mengisap kembali rokok Jana yang tadi ia jarah.
"Kalo capek, ya tinggal nafas sebentar. Taruh dulu bebannya, bagi dulu ke yang lain. Itu beban yang bikin capek emang punya lo semua?"
Juna masih diam. Dalam hening menjawab dalam hati. Mengiyakan. Beban milik siapa sebenarnya yang ia tanggung sekarang ini?
"Bukan punya gue, sih. Tapi kalo gue lepas ke yang punya, gue juga yang bakal hancur."
Jana menghela nafas berat. Tiba-tiba saja dadanya memberat, entah mengapa, tapi sepertinya aura berat dari Juna tersampaikan penuh kepadanya. Jana mendekatkan dirinya ke si adik. Meletakkan tangan lembutnya ke atas paha Juna, seakan di tangannya ada sekantung kehangatan yang bisa meredakan emosi yang berat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...