Bara berjalan dengan raut masih garang. Ada api yang seakan tertinggal di setiap pijakannya ke lantai rumah sakit. Tangannya pun bahkan masih terasa kebas, masih belum puas mengeluarkan semua emosi yang mendadak muncul akibat orang yang berjalan agak jauh di belakangnya.
Saga menyeka ujung bibirnya dengan tissue basah. Sedikit meringis ketika perih langsung melanda. Langkahnya terhenti ketika Bara menahan tubuhnya di depan ruang rawat Langit. Kalau bukan karena telfon dari si penghuni kamar, sudah pasti ia turut serta menjadi pasien saat ini. Bogeman Bara bukan main-main.
"Nggak usah masuk. Lo di luar." Ujar Bara dingin lalu masuk ke dalam kamar Langit dengan pintu yang dibanting cukup keras setelahnya.
Saga menghela nafas pasrah. Sudah tamat riwayatnya. Entah apa yang terjadi ke depan, ia hanya bisa berdoa semoga mati bukan jawabannya. Sementara ujung matanya menangkap dua sosok lain datang mendekat.
Juna berjalan di depan dengan Dewa yang mengikuti agak jauh juga di belakang. Alis Saga mengerut ketika Juna menatap Dewa tajam sebelum masuk ke ruang rawat Langit.
"Urusan kita belum tuntas, Wa. Tunggu di luar."
Bahkan ucapan pemuda itu sama persis dengan yang beberapa menit lalu dilontarkan Bara padanya. Dewa pun hanya mendengus dan pasrah bersender ke dinding, di samping Saga yang posisinya juga sama.
Keduanya terlibat keheningan usai Juna masuk. Hingga akhirnya Saga memberanikan diri bersuara, "Kenapa lo sama Juna?"
Dewa meliriknya singkat lalu memejamkan matanya yang entah mengapa terasa lelah. Tentu saja, ia belum tidur sejak kemarin. Orang dengan kacamata setebal tapal kuda pun bisa melihat lingkaran hitam di bawah mata pemuda tampan itu.
"Ada masalah." Jawab Dewa sekenanya.
Saga juga tak berniat melanjutkan karena terlihat plang 'gak usah tanya macem-macem' di jidat pemuda galak itu. Ia lantas hanya bisa menatap kosong pintu ruang rawat Langit yang tertutup rapat.
"Lo sendiri ngapain nggak masuk?"
Otak Saga berputar. Bingung harus menjawab apa.
"Hm... ada masalah sama Bara." Jujurnya.
Namun Dewa tak juga bertanya lebih lanjut. Mereka pun kembali hening, saling sibuk sendiri dengan pikiran masing-masing. Hingga suara pintu terbuka dan nampak Bara menatap mereka dengan tatapan sadisnya.
"Langit nyuruh semua masuk." Ucapnya lalu kembali berjalan masuk, meninggalkan pintu ruangan yang terbuka.
Dewa dan Saga saling bertatapan, namun sedetik kemudian berjalan masuk. Mata elang Dewa langsung bertaut dengan netra tajam Juna di ujung ruangan. Pemuda itu duduk di sofa. Sementara Bara menyandar di dinding samping kanan.
Dewa mengambil posisi bersandar di dinding ruangan sebelah kiri. Sementara Saga hanya berdiri agak jauh dari ranjang rawat Langit. Anak yang masih mengenakan selang oksigen itu menunjukkan raut yang paling cerah dibanding keempat temannya.
"Kenapa?" Tanya Dewa langsung ke intinya.
Langit makin menunjukkan giginya. Pemuda itu melemparkan sebuah papan dengan selembar kertas tertaut di atasnya, "Ih, deketan dulu dong sini. Yang mau ngomong di tengah masa lo pada berdiri jauh-jauhan. Udah gitu misah-misah lagi duduknya berasa kalo nyenggol najis aja."
Keempatnya saling bertatapan malas namun tetap menuruti. Akhirnya mereka mendekat dan berdiri mengelilingi ranjang Langit. Bara yang pertama meraih kertas itu. Membacanya dengan cepat sementara yang lain menunggu.
"Lo... mau dikemo?"
Wajah suramnya kini mencerah. Mata bulatnya menatap Langit seakan hal yang baru ia baca tak bisa dipercaya. Dewa langsung menyambar kertas dari tangan Bara dan membacanya dengan matanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...