Derap langkah ribut menggema ke seluruh penjuru lorong rumah sakit tengah malam. Bara dan Juna dengan ransel dan wajah letih mereka berjalan cepat ke sebuah ruangan. Kabar Langit yang dilarikan ke rumah sakit sore tadi sampai dengan cepat dan membuat keduanya mengambil flight tercepat kembali ke Jogja.
Di depan ruangan terlihat Dewa dan Saga yang duduk menunduk. Bara pun mempercepat langkahnya hingga berhenti di depan Dewa. Pemuda itu menatap temannya yang lebih tua hingga menampakkan wajah.
"Kok bisa?" Ungkap Bara langsung ke intinya.
Dewa hanya membuang nafas dan mengalihkan pandangan asal. Ia menggeleng pelan. Membuat Bara dan Juna langsung mengerut bingung.
"Balik-balik langsung begitu. Mimisan sama batuk darah, kayaknya sih sesek nafas dari bandara."
Suara Saga akhirnya memberikan pencerahan sedikit ke otak dua rekannya yang baru tiba. Bara melangkah ke depan pintu putih itu.
"Terus? Kok lo pada nggak nunggu di dalem?"
Dewa melirik Bara, "Masih ada dokter di dalem. Nggak tau ngapain."
Bara menghela nafas. Ia akhirnya mundur merapat ke tembok, berniat duduk di lantai namun tubuhnya keburu ditarik Saga. Pemuda itu mendudukkannya ke bangku yang tadi ia tempati. Saga pun berdiri dan memijit pelan pundak Bara yang terasa tegang.
"Tenang aja. Langit lo tau sendiri kan emang badung. Nggak tau dah tuh pasti minum apa di Jakarta." ucap Saga berusaha menenangkan Bara.
Juna yang sejak tadi diam dan menatap Dewa pun dapat menangkap sebuah sirat tak biasa yang tersembunyi dari manik legam tajam itu. Apalagi setelah mendengar Saga berusaha membuat situasi cair.
"Lo tau sesuatu, kan?"
Ketiga mata lain menatap Juna sangsi. Tak mengerti pemuda itu berbicara tentang apa. Namun ketika menangkap mata Juna menancap lurus padanya, otak Dewa pun menyetujui. Namun membuat matanya justru mengalih, memilih menatap pintu putih yang tak kunjung terbuka itu.
Bara kembali menghujami Juna dengan tatapan penasarannya. Begitu pula dengan Saga yang jujur juga mencurigai suatu hal disembunyikan Dewa dari mereka.
"Nanti abis dokter kasih penjelasan gue kasih tau semuanya."
Dewa bersuara tanpa awalan membuat hati tiga lainnya mencelos. Merasa panik tak beralasan. Tentu saja mereka tak sebodoh itu untuk berharap yang akan disampaikan Dewa adalah hal baik, tapi setidaknya mereka bisa bersiap untuk menerima segala berita buruk nanti.
*
"Lo tau nggak stadium berapa?"
Lagi-lagi suara Bara menyeruak memenuhi ruangan. Nada yang tak tinggi namun semua yang disana dapat menyadari sarat kemarahan penuh tertumpah disana. Sementara itu, Langit yang menjadi pusat sumber kemarahan hanya menyender lemas di bantal tanpa mau repot-repot menatap kawanya.
"Tiga, Ngit. Lo pikir tiga itu macem batuk pilek biasa minum panadol sembuh? Nggak, Bajingan!"
Pemuda itu akhirnya menumpahkan semua yang dipendamnya selama satu jam menunggu Langit siuman. Tentu saja setelah mendengar semua penjelasan Dewa mengenai kanker yang entah datang darimana tiba-tiba dinyatakan sudah stadium lanjut. Tentu bukan tiba-tiba. Tentu kita semua tau penyebabnya kenapa.
"Kalo lo dateng cuma buat maki-maki gue mending pulang aja. Lewat telfon, jadi gue bisa mute. Panas tau nggak kuping gue."
Juna, Dewa dan Saga hanya bisa membuang nafas kasar. Dua bocah keras kepala kembali beradu emosi dan tak terlihat ada yang mau mengalah disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...