"Minggir...minggir...hmpp!" Bara menerobos kaki Langit yang hampir berhasil masuk ke dunia mimpi. Pemuda itu berlari kesetanan keluar dek dalam kapal.
Mereka kini tengah dalam perjalanan menuju ke Bali. Pilihan jalan darat dieksekusi karena kelimanya butuh mobil untuk transport di pulau dewata itu sendiri. Hingga mereka harus menempuh jalur laut selama kurang lebuh satu jam untuk menyebrang ke Bali.
Hal itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bara yang notabenenya tidak ramah dengan kapal dan ombak. Namun apa boleh buat, ia harus setuju.
Saga dan Juna langsung terperanjat melihat bocah tadi langsung tunggang langgang sambil menutup mulutnya. Juna langsung bangkit sambil menguap sementara Saga dengan sigap mengambil kotak obat berisi segala macam pereda mual yang telah disiapkan sejak berangkat dari Jogja.
Sementara Langit menyusul dengan langkah terseret karena prihatin dengan nasib Bara. Dewa sendiri sudah tenggelam ke alam mimpi di dek dalam dan tak tersentuh.
Di toilet dek kapal tengah, Bara sibuk mengeluarkan isi perutnya dengan susah payah. Berkali-kali ia kumur dengan air yang disodorkan Juna, namun mual kembali menyergap keyika kapal bergoyang.
Hari itu memang ombak tengah agak ribut sehingga perjalanan mereka tak semulus yang diharapkan. Saga menunggu Juna yang tengah mengurut tengkuk Bara pelan. Ia tak bisa masuk mengingat toilet kapal amat sempit. Namun di kedua tangannya sudah siap kompresan hangat dan aromaterapi untuk diurapkan ke leher dan dada Bara.
Sementara Langit hanya menonton Saga dari luar, tepatnya pinghir dek sambil bersandar di besi pegangan kapal dan menyulut rokoknya santai. Angin laut menerbangkan rambutnya dan membangunkannya dari kantuk berkepanjangan.
"Hahh...bisa mati muda gue kalo pulangnya gini lagi." Gumam Bara dengan freshcare digenggam di depan lubang hidungnya sementara Saga di belakangnya sibuk mengolesi leher bagian belakangnya dengan minyak kayu putih.
Bocah itu duduk di bangku yang diambil Juna entah dari mana, "Udah, lo duduk liat ke arah air. Kata temen gue ampuh tuh. Lagian tadi gue suruh minum antimo biar tidur aja nggak mau sih lo." Ujar Juna sambil ganti memijit pundak dan kepala Bara dengan pelan.
Langit merogoh rokoknya lalu mengambil satu untuk Bara, "Nyebat dulu coba, banyak temen gue yang mabok laut kalo nyebat bisa nunda muntah."
Bara menatap Langit tak percaya, "Bercanda lo." Tolaknya lemas.
"Tck! Beneran, di orang beda-beda. Lagian ini rokok menthol, ada mintnya, kan pereda mual?"
Bara mencebik dan menatap Langit ragu. Namun sedetik kemudian ia mengambil rokok itu dan menyulutnya. Saga dan Juna pun ikut menyulut rokok mereka sendiri-sendiri sambil silih berganti memberikan pijatan ringan pada Bara.
"Pergi nggak bilang-bilang, ini tas kalo diambil orang gimana coba?" Dewa datang sudah dengan rokok tersulut dan muka setengah sadar. Rambut pemuda itu bahkan masih mencuat kemana-mana.
Juna terkekeh melihat Dewa yang menyangklong banyak tas di pundaknya, "Tas yang merah berapa, Bang? Rame bener itu pundak macem lagi gelar dagangan." Komentarnya lalu mengambil tas kecilnya sendiri dari pundak Dewa.
"Untung bangun gue, udah tau kalo gue tidur beda tipis sama mati. Malah ninggalin tas gitu aja." Omel Dewa dengan asap rokok yang keluar di setiap perkataan yang diucapkannya.
"Tapi kan insting lo kalo ada maling juga setajem anjing pelacak, Bang. Jadi aman-aman aja deh kayaknya. Feeling gue kalo ntar lo udah wafat juga misal ada orang mau nyolong bunga kuburan lo, pasti lo akan bangkit dulu buat ngerebut balik itu bunga, yakin gue." Timpal Langit santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...