Yang di mulmed Saga ya :)
"Jadi nanti kita bagi tugas aja. Ada yang cari literasi dari berita-berita opini publik tentang kasus ini, ada yang coba call saksinya sama mungkin kalo bisa ke polisi siapa tau mereka mau kasih info lain."
Lima orang mahasiswa tingkat tiga itu tengah berdiskusi mengenai tugas terkini mereka. Pilihan akan kasus penyiraman Novel Baswedan membawa beberapa kendala, khususnya informasi. Orang awam pun tau ada yang tak beres dengan kasus yang belum terpecahkan secara betul hingga sekarang, apalagi masuk ke radar mahasiswa kriminologi seperti mereka.
"Gue aja yang ke polisi." Seorang mengenakan topi terbalik berujar.
"Yakin lo, Ga? Polisi part paling susah, lho."
Saga, si pemuda berbibir tebal itu, tersenyum singkat hingga lesung pipitnya tergambar jelas di pipi. Dihembuskannya asap vape andalannya.
"Ah, santai, bisa pake chanel bokap. Alesan buat tugas aja, paling nggak dikasih lah satu atau dua kunci yang nggak sempet dibeberin ke publik." Ujarnya percaya diri.
Rafi, pemuda yang duduk di sampingnya, menepuk pundak Saga dengan bangga sambil mematikan rokoknya yang sudah tandas.
"Tenang gaes, ada Saga ada hasil. Nih satu anak bisa diandelin deh." Ucapnya ketika tiga lainnya melempar tatapan ragu.
Saga adalah mahasiswa yang tak terendus citranya. Semua orang mengetahui namanya, wajahnya, bahkan paling tidak pernah berbicara entah sepatah atau dua patah kata karena memang orangnya ramah dan suka menyapa. Tapi jika ditanya Sagara itu tipe orang seperti apa? Mereka langsung bingung untuk memberi jawaban.
Tentu saja karena tak terlalu dekat dengan pemuda satu itu sehingga tak bisa memberi jawaban, namun juga tak sejauh itu hingga tak bisa dibilang tak mengenal. Saga seakan menjaga jarak dalam radius yang tepat, bisa dideteksi tapi tak bisa dikenali.
Sebelum si pemuda yang menjadi pusat keraguan memberi reaksi, getaran di saku celananya menyela. Ia lantas meminta waktu untuk mengangkat panggilan tanpa melihat si penelpon. Diraihnya ponsel di saku setelah cukup berjarak dari kawannya.
Tentu saja ia tak perlu repot-repot melirik si penelpon karena dengan sengaja ia memasang dering yang berbeda untuk panggilan satu ini. Panggilan dinas, ia biasa menjuluki.
"Ya?" Saga menjawab.
"Kantor satu jam lagi." Suara disana memberi titah lalu langsung memutus panggilan.
"Nggak pake assalamualaikum apa sapa dulu kek." Gumam Saga lalu mengembalikan ponselnya ke tempat.
Terkadang ia suka keheranan, mengapa mereka tak mengirim pesan singkat saja jika hanya mengucapkan satu kalimat perintah. Mengapa harus repot-repot melakukan panggilan? Tak mengambil pusing, Saga segera berjalan ke tempat grupnya berkumpul untuk pamit.
"Eh, bro, sis, gue kayaknya harus cabut duluan, deh. Nyokap tiba-tiba telpon kalo di kantor sakit jadi minta dijemput. Gapapa, kan?" Alibinya dengan raut dibuat cukup gusar yang tentu saja langsung mengundang simpatik lainnya.
"Eh, santai aja, Ga. Kasian nyokap lo, yang penting lo tau kan tugas lo gimana? Deadline-nya rabu mingdep ya." Ujar Friska, gadis yang menjadi sekretaris dadakan grup tugas kali ini.
Saga mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Kemudian ia melambaikan tangan sambil berjalan menjauh. Raut gusar buatannya telah musnah sedetik setelah ia berpaling seiring dengan asap vape yang dikeluarkan dari bibir ranumnya.
.
Setelah setengah jam lebih tujuh menit, ia berhasil tiba dengan suntuk karena jalanan Jogja yang mendadak macet. Saga mengunci Harrier hitamnya dan melangkah masuk ke kantor. Di perjalanan ke ruangan si pemberi titah, segala sapaan asik nan ramah dilemparkan ke orang-orang yang familiar dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...