Last chapter before epilog.
Happy reading!
.
.
.
Juna mengenali sosok yang kini berniat membuat kepalanya pecah sekali tarik. Ia bahkan masih dalam posisinya membawa batu.
"Jatuhin batunya, Jun." Titah Ansel kembali.
Juna tak berkutik. Ia justru menatap batu di tangannya dengan seksama.
"Jatuhin batunya atau gue tarik pelatuk pistol di tangan gue."
Juna melirik ke samping, walau tak bisa menangkap sosok Ansel, ia bisa melihat bayangan mereka yang terpantul di cahaya api pembakar rumah.
"Mau mecahin kepala gue?" Ujar Juna dengan nada main-main.
Ansel mengerutkan alisnya namun terkesiap ketika pemuda itu berbalik dan membanting batu di tangan ke belakang. Juna kini menyentuh moncong senjatanya.
Dengan pelan tapi pasti, ia menempelkan kembali ujung pistol Ansel tepat di dahinya. Menempel tanpa jarak. Matanya jatuh lurus tepat ke netra lawan.
"Kalo mau ngeledakin kepala orang, lo harus tatap dulu mata orangnya. Jangan jadi pengecut." Kata Juna dengan nada menantang.
Ansel sedikit tak siap hingga membuat bawahannya menangkap sinyal dan maju. Siaga dengan senjata semua mengarah pada Juna.
"Sebelum lo bunuh gue disini, jawab satu pertanyaan gue."
Nafas Ansel beradu cepat. Menghadapi Juna jauh lebih berbahaya dibanding menghadapi Bara dan Saga. Pemuda ini membuat sesuatu di dirinya bergerak di luar perintah.
"Selama ini, semua yang keluar dari mulut lo, semua perbuatan dan tingkah lo, nggak ada satu pun yang tulus?"
Ansel menelan ludahnya kasar.
"Selama itu linier sama tugas gue, nggak ada yang perlu ditanyain."
"Bahkan semua afeksi yang lo terima dan lo kasih? Semuanya?"
Ansel terdiam. Nafasnya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Dadanya terasa ngilu tiba-tiba. Tidak bisa. Emosionalnya tidak boleh berkuasa.
Ia menengok ke arah anak buahnya dan akhirnya menyuruh mereka untuk mundur, memberi jarak agak jauh agar percakapannya tak terdengar.
"Gue nggak pernah ngerasa takut. Bahkan awal-awal jalanin rencana masuk lewat lo, gue nggak mikir macem-macem karena gue ngerasa lo cuma batu loncatan. Bukan orang yang tepat buat gue yang nggak pernah mikir butuh sosok untuk nemenin gue kapan pun."
"Sampe gue masuk terlalu dalam. Rasa takut lama-lama ada. Ketika gue sadar kalo ternyata lo orang yang gue anggep penting. Tanpa sadar."
Juna dapat melihat raut Ansel yang kian lama kian melunak. Tak ada lagi garis-garis rahang yang menggertak kuat. Hanya tatap tajamnya yang makin menghilang.
"Gue nggak mau ngulangin jejak tiga atasan gue yang larut dalam lingkaran kalian."
Ia kembali menguatkan tekanan pistolnya ke dahi Juna hingga pemuda itu sedikit termundur.
Juna mengerut, "Tiga?"
Ansel menengok ke arah bawahannya yang masih mengawasi dari jarak jauh.
"Kelompok lo adalah lubang hitam. Jauh lebih rumit dari misi-misi gue sebelumnya."
Pemuda itu memandang lurus wajah Juna yang kini menatapnya campur aduk. Kecewa, berharap dan penuh tanya.
"Lo yang bikin misi gue rumit. Lo dan afeksi lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...