Helaan nafas lelah itu lagi-lagi mengawali paginya. Tubuh tegap Bara sudah berdiri di depan kamar sang kakak yang masih tertempeli label kuning polisi. Ia mendongak pela, memejamkan mata sejenak lalu memutuskan untuk menyingkirkan label kuning itu secara paksa.
Seminggu sudah ia membiarkan polisi keluar masuk rumahnya, dan inilah saatnya untuk menutup pintu. Jujur, Bara tak peduli dengan hasil penyelidikan. Yang ia mau hanya hidupnya yang kembali tenang tanpa usikan siapapun.
Ia melangkah ke dalam kamar yang ranjangnya sudah tak bersprei. Sudah pasti dibawa polisi guna penyelidikan. Jendela kamar sang kakak terbuka, menyisakan ruang bagi sinar mentari pagi itu untuk menyelusup ke dalam.
Nuansa kamar hijau tua itu tak berubah. Masih sama sejak terakhir dirinya diijinkan masuk. Sekitar enam tahun yang lalu. Tepat sebelum dirinya masuk ke bangku SMA, sang kakak menutup diri.
Bara menjelajahi deretan bingkai foto yang terpajang rapi di atas meja nakas Rangga. Foto kakaknya, keluarganya, dan dirinya. Tangannya langsung meraih gambar dirinya berumur, entahlah, tujuh tahun? Sementara sang kakak yang sepertinya sudah memasuki bangku SMP. Mereka berdua tersenyum lebar di foto itu dengan topi khas perayaan ulang tahun. Tak salah lagi. Foto itu diambil saat ulang tahun ke-tujuhnya.
Bara tak menyadari senyum tipis tersemat di wajahnya ketika memutar balik peristiwa yang bahkan tak tergambar sama sekali di benak. Hanya angan yang bisa membentuk flashback palsu. Kurang lebih terjadi seperti itu.
Ia kembali meletakkan pigura foto itu ke tempatnya. Matanya beralih ke meja belajar kakaknya yang masih rapi, dengan komputer yang sudah tak di tempat. Entahlah, mungkin dibawa oleh polisi, Bara juga tak peduli.
Tangannya membuka laci yang selama ini setengah mati ingin ia buka. Sang kakak selalu melarangnya membuka bagian itu. Entah apa isinya. Bara kecil mengira sang kakak pasti menyembunyikan coklat atau permen kesukaannya. Namun Bara besar sudah berpikiran lain.
Ia mengeluarkan sebuah map hitam tebal. Nampaknya terisi berkas penuh di dalam. Tak membuang waktu, Bara membuka map itu dari depan. Tertata rapi dan runtut berkas pendidikan sang kakak. Sertifikat-sertifikat kemenangan lomba beserta ijazah sejak SD hingga kuliah.
Lagi-lagi ia tak sadar sendi tubuhnya menggerakkan bibirnya melengkung ke atas tatkala melihat gambar kakaknya terpajang di setiap sertifikat. Foto Rangga sejak TK hingga dewasa membuat Bara menghangat, tapi hatinya masih terlalu kelu untuk menyadari itu.
Hingga tangannya berhenti membalik di satu lembar kertas yang tersimpan dalam map yang sama. Terletak di bagian belakang. Surat tawaran kuliah dari satu universitas di Jerman. Universitas terkenal yang tak asing di benak Bara. Dengan jurusan yang jauh dari profesi kakaknya sekarang ini.
Hubungan Internasional. Sontak semua kilas balik percakapan Bara dengan sang kakak terputar.
"Kalo Rangga gede, Rangga pengen jadi diplomat kayak Om Hari."
"Kalo gue nggak peduli sama lo juga gue udah ke Jerman!"
"Lo nggak tau gimana rasanya nolak sesuatu besar yang lo idamkan dari dulu yang bahkan udah disuguhin di depan mata lo!"
Bara membanting punggungnya ke sandaran kursi belajar Rangga. Matanya mengosong. Membasah. Memerah. Benaknya masih menciptakan segala kilas kata yang diucapkan Rangga dengan runtut.
"Gue ngelakuin semua yang gue lakuin ini buat lo. Cuma buat adek kecil gue satu-satunya. Walaupun ujungnya gue yang jadi sasaran, gue lakuin. Walaupun jadi dokter juga bukan mau gue, yang penting lo bisa ngelakuin apa yang lo mau."
"Gue nyesel nggak ada di samping lo sebagai kakak, nggak bisa dengerin semua cerita pergaulan dan kehidupan lo yang bentar lagi jadi dewasa. Tapi keluarga kita nggak bisa, Bar. Harus ada satu yang dikorbanin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...