"Bar!"
Sepatu converse itu tak berhenti melangkah. Seakan telinga si pemakai mendadak tak berfungsi.
"Bara!"
Langkah Bara akhirnya berhenti. Itu pun terpaksa karena tubuhnya ditahan. Ia berbalik dan menatap Saga malas.
"Ngomong dulu sama gue." Ujar pemuda bertopi itu. Mereka masih berada di luar kantor polisi.
"Nggak. Gue nggak mau ada urusan lagi sama lo." Balas Bara dingin lalu menghempas tangan Saga.
Namun Saga kembali menahannya. Kali ini lebih erat.
"Lo yakin ngelakuin ini semua sepadan?"
Bara menoleh, menatap Saga dengan tatapan sarkasnya.
"Sepadan? Gue tanya balik ke elo, sepadan nggak lo lepas identitas lo sebagai polisi cuma gara-gara udah attach sama empat anak yang hidupnya ancur?"
Saga terdiam. Dalam hati ikut bertanya, sebenarnya ada di pihak siapa ia sekarang ini?
"Sepadan, Bang? Lo harusnya tetep aja di jalur lo. Nggak usah ikut arus kita. Akhirnya juga pasti sia-sia. Nggak ada kata 'berhasil' dan 'hidup tenang' di nasib kita berempat. Jadi gue saranin lo balik aja ke tugas awal lo."
Bara berniat pergi setelahnya, namun kali ini ucapan Saga yang menahannya.
"Kenapa lo pilih selametin Langit dari hukuman terberat?"
Saga merasa dadanya ngilu. Bukan, ia tak punya riwayat penyakit jantung. Hanya saja emosi akhir-akhir ini membludak, perlahan mengikis mentalnya.
"Lo artinya nggak sebenci itu, Bar, sama Langit. Nyatanya lo-"
Bara terkekeh sinis memotong ucapan Bara. Ia kembali menatap pemuda itu remeh.
"Justru gue kasih hukuman terberat buat dia. Dengan dia tetep hidup dan jadi saksi temen-temennya ilang satu per satu. Yang tersisa cuma dia. Sendiri. Nggak punya siapa-siapa lagi."
Saga diam dan menatap raut penuh arti Bara ketika pemuda itu berucap. Sarat penuh maksud dan penuh rencana. Namun tidak dengan keyakinan. Saga masih bisa menangkap secercah getar ragu dari manik Bara.
"Apa lo seyakin itu?"
Bara mengerut, menatap Saga tak mengerti.
"Apa lo seyakin itu kalo rasa puas yang bakal lo rasain begitu liat temen-temen lo ancur satu-satu?"
Saga mencoba mengamati perubahan kecil dari raut Bara.
"Lo seyakin itu kalo justru bukan rasa penyesalan yang bakal lo rasain setelah ngelakuin hal ini ke temen-temen lo?"
Bara hening. Entah mengapa ia tak bisa menghalau kata-kata Saga yang menancap langsung ke ulu hatinya. Ya, ia tak memikirkan kemungkinan itu. Di benaknya kini hanya ada balas dendan saja. Tanpa tau ia salah sasaran.
"Lo mesti tau kalo lo berharap di penjara bakal satu sel sama mereka itu nggak bakal terjadi. Yang ada lo dipisah jauh-jauh. Dan kalau pun memang lo dapet hukuman mati, lo semua cuma bakal ketemu di hari eksekusi lo doang. Itu pun lo juga nggak bakal bisa liat mereka karena mata lo bakal ditutup."
"Atau bisa jadi juga nggak semua dari lo yang bakal dieksekusi. Beberapa juga bisa dihukum penjara seumur hidup. Nggak ada yang tau."
"Hidup itu nggak bakal sesuai sama rencana lo. Hidup itu cuma sesuai sama rencana Tuhan. Yang lo rancang itu cuma angan-angan. Nggak ada yang tau bakal kejadian atau nggak."
Ia menarik nafas sebentar, melirik ke sekitar lalu menlanjutkan, "Lagian yang harusnya lo bales itu bokapnya Langit. Bukan Langit, juga bukan Dewa atau Juna. Mereka cuma boneka yang nggak punya kuasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...