Juna mengacak asal rambut khas bangun tidurnya sore itu. Rumah telah terang akan lampu-lampu di bagian tertentu yang selalu dinyalakan setiap malamnya. Tak perlu rept-repot melirik keluar, ia sudah tau bahwa matahari telah menenggelamkan dirinya beberapa jam lalu. Dalam hati merutuki diri yang tertidur pukul enam sore.
"Mampus, nggak bisa tidur lagi gue. Ngapain, ya?" Gumamnya sambil berjalan pelan dan menelusuri rumah yang sunyi senyap.
Kakinya melangkah ke arah kanan, tepatnya menuju ke kamar Bara yang ada di sebelah. Pintunya terkunci. Artinya si pemilik kamar sedang tak berada di tempat. Juna pun putar haluan, berjalan ke kamar Langit.
Pintunya dapat terbuka dengan mudah, tentu saja, karena khusus kamar anak itu lubang kuncinya dihilangkan. Tentu saja, karena tingkah si termuda di antara mereka yang kerap kali menciptakan serangan jantung sehingga Dewa harus melepas bagian lubang kunci pintu kamar Langit agar anak itu mudah diperiksa.
Juna membuang nafas kecewa ketika menemukan kamar Langit gelap. Tempat tidur anak itu pun masih tertata rapi, menandakan bahwa si empunya juga belum menginjaki kamar itu sejak ditinggalkan siang tadi.
"Tai, pada kemana, sih? Perut gue udah karokean gini lagi." Gumamnya sambil berjalan ke atas dengan tangan mengusap pelan perutnya yang sejak tadi berbunyi karena kelaparan.
Masih ada Dewa yang harusnya malam ini tak memiliki kegiatan karena hari ini bukanlah jadwal shift-nya. Ia mengetuk kamar yang terdengar sunyi dari luar itu lalu membuka pintunya dan melangkah masuk.
Telinganya langsung disapa dengan alunan musik indi yang asing di telinga namun cukup menenangkan jiwa. Tentu saja, selera musik Dewa bisa ditebak adalah lagu yang bertempo pelan dan mudah didengar. Namun, Juna mengernyit ketika kamar itu remang-remang, cahayanya minim.
Hampir ia menutup pintu kamar itu kembali sebelum matanya menangkap sesosok siluet gelap duduk di meja seberang tempat tidur tanpa pergerakan dengan kepulan asap tebal melebur dari tangannya.
"Bangsat!" Umpatnya.
Sosok itu menoleh dan menghela nafas kasar. Diletakkannya cup mie instan pada meja di sebelah dan bersidekap menghadap ke Juna.
"Ngapain sih, Bang? Lagi dapet momen nih gue." Ujar Dewa ketika Juna menekan saklar lampu kamarnya hingga lampu kembali menerangi seluruh ruangan bernuansa putih itu.
"Momen melebur sama genderuwo? Udah macem setan pojok kamar gitu tadi. Serem ah, Wa." Balas Juna lalu berjalan dan duduk di atas kasur Dewa nan empuk.
"Ngapain lo? Gabut?" Ujar Dewa kemudian sambil meraih kembali mie instannya yang masih mengepul panas.
Juna mengangguk.
"Nggak ada janji sama cewek mana gitu?"
Juna menggeleng. Namun, Dewa tak berniat melanjutkan basa-basinya. Tangannya meraih buku yang tadi sempat tertunda untu dibaca dan mengabaikan presensi Juna di kamarnya. Ia sudah terbiasa tak menghiraukan tatapan cukup meresahkan yang dilemparkan Juna padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...