Kalau bisa dibandingkan, apa yang Langit rasakan sekarang jauh lebih gelisah dibanding saat ia pertama kali mengedar barang dulu. Lebih jauh porsinya. Jelas saja, karena kegelisahan yang satu ini ia sendiri tak tau penyebabnya.
Bara semalam tak pulang. Padahal ia sudah niat membantu Saga memasak untuk perayaan ulang tahun anak itu. Dewa dan Juna pun hanya pulang sebentar saat tengah malam lalu pergi lagi dan tak kembali. Tepatnya hanya mampir dan menanyakan keberadaan pemuda yang bertambah umur itu.
Hingga pagi ini. Langit menyesal bangun sangat pagi dan hanya menemukan rumah kosong. Dewa dan Juna juga mengikuti jejak Bara yang tak terlihat batang hidungnya. Saga masih terlelap di kamar. Ia sungguh menyesal.
Akibat bangun paginya yang tak disengaja, ia jadi bertemu dengan sang ayah yang entah sejak kapan sudah duduk di bangku terasnya. Dengan penjaga yang berjaga di depan pagar. Harusnya Langit tak keluar untuk mematikan lampu depan sepagi itu. Inilah jadinya.
"Langit. Ngomong sama Papa sebentar aja, Nak."
Sang ayah sudah lebih dulu menghentikan Langit yang berniat masuk tanpa mempedulikannya. Hela nafas jengah terhembus dari Langit. Ia melangkah malas dan duduk di bangku seberang ayahnya. Matanya pun hanya melihat ke arah luar, tak mau bertemu dengan manik tajam itu.
"Setelah kemo yang kelima, kamu ikut Papa ke Amerika aja, ya? Disana ada dokter yang lebih bagus jadi ka-"
"Nggak."
Ayah Langit langsung terhenti ketika Langit menjawab dengan lantang dan singkat. Ia membuang nafas pelan. Berusaha sabar.
"Nggak lama. Cuma satu tahun."
Tatapan Langit menghadang ayahnya, memicing tak percaya, "Cuma? Kalo taunya aku mati disana gimana? Papa yakin seratus persen dokter sana bisa sembuhin aku?"
"Kok kamu ngomongnya udah negatif gitu? Kalo nggak dicoba ya nggak bakal tau."
"Tapi aku nggak mau coba kalo ujungnya sama aja. Udah gitu disana aku diurus siapa? Papa? Nggak mungkin, kan? Papa pasti sibuk sehari setelah sampe. Paling juga dititipin suster doang. Males. Ngapain ninggalin orang yang bentar lagi mati sebatang kara. Udah gitu ngabisin duit lagi."
Brak!
Ayah Langit menggebrak meja di hadapannya dan menatap putranya tajam.
"Terus kamu mau apa?! Sekarat di dunia kayak gini?! Sama temen-temen kamu yang kayak gitu?!"
Langit terkekeh sarkas, "Iya! Kenapa? Papa nggak setuju? Ya udah pulang aja daripada buang-buang tenaga. Mending ngurusin Mama tuh yang udah kelayapan kemana-mana lagi cari mangsa."
Setelahnya, Langit berdiri dan melangkah masuk. Namun sang ayah dengan cepat menahan tangannya.
"Kamu tau kan kalo ngebantah omongan, Papa bisa ngapain?" Pria itu berujar pelan dengan nada rendah yang mengintimidasi. Namun nada itu selalu tak mempan pada Langit.
"Terserah. Lakuin yang Papa mau, Langit udah capek sama urusan kalian yang terus bawa-bawa Langit."
Brak!
Langit langsung melepas paksa cengkraman sang ayah dan menutup pintu rumah keras. Ia mengunci pintu itu. Langkahnya pun terasa gontai setelahnya. Bahkan tenaganya hanya cukup untuk sampai ke sofa ruang tengah. Efek kemotrapi masih terasa. Lemas dan mual masih melanda. Belum lagi sakit kepala sejak bangun tidur tak hilang. Ditambah ketiga penghuni lain tak jelas nasibnya dan ayahnya pagi-pagi datang mencari keributan.
Matanya terbuka ketika mendengar orang membuka kunci pintu sepuluh menit kemudian. Hembusan nafas lega ia keluarkan ketika melihat sosok Bara muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...