Saga menatap bangunan megah di hadapannya. Rumah bernuansa serba putih dengan pilar-pilar menyangga di pintu masuk membuat siapa saja yang melihat sudah pasti menganggap si pemilik bukanlah orang sembarangan. Langit turun dari mobil lalu melangkah masuk, melewati banyak penjaga berseragam corak hijau coklat yang familiar. Tentara. Juna dan Bara menyenggol Saga yang masih terbengong dan mengisyaratkan anak itu untuk ikut melangkah masuk.Seminggu sudah mereka kembali ke kota pelajar dan seminggu sudah hidup mereka kembali ke rutinitas biasa. Hingga hari ini, Langit meminta mereka untuk mengantarnya ke rumah. Ada urusan yang harus dibicarakan dengan sang ayah katanya. Anak itu tak pernah sekali pun minta ditemani untuk pulang. Kecuali ketika sang ibu juga tengah berada di bangunan bernama 'rumah' yang sama.
Tak berbeda jauh dengan tampak depan, interior rumah Langit memang benar-benar serba putih. Banyak foto dan badge khas kemiliteran terpajang di dinding ruang tamu. Diantaranya foto Langit dengan ayah dan ibunya.
"Pada masuk aja ke kamar gue. Kayaknya agak lama, nanti kalo udah gue samperin." Ucap Langit lalu melangkah naik ke ruang kerja sang ayah.
"Yuk, Bang. Ke kamar Langit aja." Ucap Bara menarik Saga. Pemuda itu melirik kembali foto pria berseragam militer lengkap dengan pangkat tinggi tersemat di bahunya. Pria yang ia yakini adalah Aswangga, ayah Langit.
Ketika melihat kamar pemuda yang kini entah sibuk apa di ruang kerja ayahnya, Saga kembali terperangah. Nuansa kamar Langit yang ini jauh berbeda dari kamar super berantakan pemuda itu di rumah mereka. Kamar yang ini jauh lebih bersih, lebih mewah, dengan beberapa ornamen dan barang pajangan mahal.
"Kamar Langit gini?" Gumam Saga refleks.
Bara sudah asal tiduran di ranjang King size itu dengan nyaman dan menyalakan televisi di depannya, "Yoi. Beda banget ya?" Jawabnya.
Saga mengangguk, sementara matanya melirik ke arah Juna yang sudah membuka pintu balkon kamar Langit. Balkon yang menghadap ke lapangan hijau luas di belakang. Lapangan penuh bendera dan lubang, lapangan golf. Belum lagi sebuah danau berukuran cukup besar terpampang di ujung lapangan itu.
"Buset, ini lapangan punya.."
"Punya bokapnya Langit." Jawab Juna yang sudah mengeluarkan rokoknya.
"Damn..." Gumam Saga terperangah.
"Lo sering kesini?" Tanya Saga kembali. Banyak pertanyaan yang melayang di kepalanya.
Juna mengangguk sambil menghembuskan asap dari mulutnya. Pagi yang cerah untuk dibuka dengan sebatang rokok langganannya. Sementara suara di belakang mereka terdengar review PS 5 yang dimainkan Bara di TV Langit.
"Nggak sesering itu, ada sih tapi lima kali." Jawab Juna singkat.
"Gue baru tau bokapnya Langit itu jenderal TNI." Ungkap Saga lalu ikut menyulut rokoknya.
Bara dari belakang menyahut, "Gue juga kaget, Bang, dulu pas pertama kali dateng kesini. Abisan Langit cuma bilang bokapnya pengusaha. Ya siapa yang bakal ngira ternyata juga mantan jenderal? Pantes aja power-nya dimana-mana."
Saga menyandarkan tubuhnya ke balkon super mewah itu dan menatap Bara yang masih rebahan di kasur Langit, "Udah lepas jabatan?"
Bara mengangguk, "Udah lama. Abis lepas jabatan terus pegang usaha keluarga Aswangga yang udah turun temurun. Yaudah deh, powernya makin abis-abisan."
Pemuda yang sejak tadi mendengar itu mengangguk-angguk, mencoba mencerna informasi baru.
"Lo deket sama bokapnya?" Pancing Saga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...