"Bar! Cover belakang, tolol!" Langit mengumpat sambil bergerak lincah dan mata terplester di layar ponselnya.
Di sampingnya, Bara juga sama, perhatian sepenuhnya tercurah ke benda elektronik canggih itu dan jari yang bergerak lihai. Bibirnya terkatup, menjepit rokok yang masih menyala karena tak terdapat asbak untuk sekedar meletakkan sementara batang nikotin kesayangannya.
Mereka masih berada di luar klub, menunggu rekan yang lain selesai dengan pekerjaannya sekaligus menghindari godaan manja dari para tante nakal. Entah sudah berapa lama mereka ada di posisi itu. Tak jarang para pengunjung melirik aneh ke arah mereka yang berteriak kegilaan namun fokusnya pada ponsel.
"Ahelah! Elo ya yang bikin kita kalah." Ucap Langit ketika tulisan Game Over kini memenuhi screen-nya.
"Heh! Yang daritadi mainnya ngaco itu situ, main nyalahin orang aje. Ngaca dulu noh di toilet banyak kalo kurang gue beliin segede pintu rumah, baru nuduh orang. Kebiasaan jelek dipelihara nih." Bara mengomel dua kali lipat lebih panjang atas ketidakterimaannya.
Langit hanya mencibir sambil menyalakan rokoknya yang tadi sempat terbakar dihisap setan karena dianggurkan game yang lebih menarik. Ia menghembuskan asap putih nan membumbung tinggi sambil menilik pintu masuk klub yang masih ramai pengunjung.
"Bisa balik jamber ya kita? Bang Juna masa kagak kelar-kelar." Dumelnya karena merasa kakaknya itu terlalu lama di dalam.
"Kayak nggak tau doi aja. Kalo udah kelar, papasan sama cewek cakep dikit mah dibungkus dulu. Lo kalo mau balik, kita balik aja, gue udah mager dan ngantuk juga neh." Bara berujar sambil sesekali mengucek matanya yang sudah memerah.
Langit menepuk pelan pipi Bara dengan gemas, "Bentar ya sayang, abang ke toilet dulu mau pipis terus kita pulang. Utututu gemes banget, adek ciapa sih?" Katanya dengan nada dibuat gemas lalu berlalu ke arah toilet.
Bara yang ditinggalkan masih mematung seakan mencerna apa yang baru saja dilakkan oleh anak keturunan Lucifer itu. Ia mengusap pipinya lalu badannya sontak bergetar, terasa merinding membayangkan kembali apa yang baru saja diterima.
"Bajingan, Langit!" Umpatnya pelan sambil membuka ponsel untuk mengirim pesan pada Juna yang entah masih disibukkan dengan apa di dalam.
Bara bersandar di salah satu pilar tembok jalan masuk klub. Sesekali melirik ke arah toilet untuk menunggu si rekan seumuran yang tak kunjung keluar. Hingga suara sepatu berhenti tepat di depannya membuatnya mau tak mau memperhatikan.
Tarikan nafas dalam namun secara sembunyi dilakukan Bara melihat siapa yang tengah berdiri di hadapannya. Seorang wanita bisa dikatakan umurnya sudah empat puluh tahunan, berdiri dengan riasan dan baju pulang kantor nan mewahnya. Wanita itu melayangkan senyum ramah pada Bara, naun pemuda itu lebih suka menyebut itu senyum sintetis, palsu.
"Ngapain disini, Sayang?" Ucap sang wanita dengan ramah dan terdengar memanjakan.
"Bukan urusan Tante." Jawab Bara. Ia berniat untuk pergi menuju ke toilet, menghadang Langit untuk keluar, namun tangan wanita itu menahan lengannya.
"Pasti sama Langit kan kesininya? Tante mau ketemu dong." Pintanya.
Bara langsung menatap sengit perempuan yang ia juluki 'Tante' karena memang orang itu adalah ibunda dari Langit. Pandangannya terpaku cukup lama mendalami lekuk wajah yang sangat mirip dengan sahabat seperjuangannya, namun jangan terlena karena wajah ramah nan baiknya hanya topeng belaka.
"Langit nggak mau tuh ketemu sama Tante. Jadi mending Tante lanjut aja, nggak usah cari-cari Langit terus." Balas Bara lalu menghempaskan pegangan si wanita dan melangkah menuju ke toilet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil May Care ✔
FanfictionManifestasi empat kepala yang isinya mengalahkan kerumitan otak seorang Albert Einstein seakan siap memporak-porandakan dunia nyata. Emosi yang melonjak, darah yang tak berjarak, hormon yang bersorak membawa mereka hidup dalam lintasan penuh adrenal...