33-Random

1.5K 274 28
                                    

Meletakkan ponselnya secara kasar ke atas meja, Mirae lantas mendengus jengah sebelum menyesap cappucino hangat yang ia buat secara instan dari cangkir putih berukuran sedang yang ia genggam pada tangan kanannya.

Dia menatap malas kepada ponselnya, setelah pamannya secara sengaja berkali-kali mengingatkan gadis itu untuk datang ke kantor agensi pagi ini. Tentu saja Mirae jengah, melihat kalimat yang terus menerus diulang tanpa henti di layar ponsel diiringi dentingan notifikasi yang membuatnya jengkel setengah mati.

Ia pernah sekali mendengar ponsel Jaemin berdenting terus menerus seperti itu sewaktu lelaki itu lepas memposting sebuah foto di akun sosmednya sebab lupa mematikan notifikasinya lagi. Alhasil membuat Mirae rasanya ingin melempar ponsel itu kalau saja tidak ada dalam genggaman Na Jaemin. Anehnya, lelaki itu malah tidak merasa resah sama sekali.

Mengingat Jaemin, pandangan Mirae kembali teralihkan kepada sebuah kotak berwarna cokelat yang masih belum berpindah posisi dari atas meja. Ia kembali menyesap cappucino hangat dari cangkirnya, lalu tangan kanannya bergerak meraih kotak di atas meja.

Dibukanya kotak itu dengan satu tangan, memandangi gelang dengan jenis dan model sama persis di dalam sana yang sukses membuatnya berpikir semalaman, salah satunya membuatnya menerawang jauh ke belakang sana. Padahal, tadinya ia tak peduli, sangat tidak peduli.

Mau tak mau membuatnya terpikirkan satu hal, bahwa beberapa perkataan yang dilontarkan seorang Na Jaemin sedari awal ia menampakkan diri di dorm dreamis bukanlah sekedar lanturan karena watak berisik seorang Na Jaemin.

Ditutupnya kembali kotak tersebut, masih dengan cangkir dalam genggamannya, ia melangkah menjauh dari meja menuju balkon kamarnya. Disana, ia langsung disambut oleh sinar matahari pagi yang menerpa wajah.

Ia tidak ingin ke kantor hari ini, toh perusahaan milik ibunya, siapa yang mau protes? Mirae juga merasa tidak memiliki posisi penting. Lagi pula, dia sangat tidak suka dengan para karyawan yang menatapnya. Orang-orang yang tidak menyukai Mirae sewaktu sekolah saja tidak pernah menatap terang-terangan seperti itu. Meresahkan.

Tangan kirinya menggenggam birai, tangan kanan menggenggam cangkir yang sesekali menyesap isinya. Pandangannya menuju ke arah pekarangan rumah di bawah sana.

Atensi Mirae terfokus ke arah punggung kecil yang ditutupi oleh surai cokelat itu. Choi Anna yang tengah duduk berhadapan dengan kanvas yang dihiasi lukisan setengah jadinya, dengan tangan kanan yang memegangi palet, dan tangan kiri yang menggenggam kuas digunakan untuk menyelesaikan lukisan, menggores dan memadukan warna di atas kanvas.

Walaupun masih setengah jadi, Mirae memandang takjub ke arah kanvas di depan Anna. Lukisan surealis yang diciptakan Anna tampak akan menakjubkan. Membuat gadis itu menghela pelan. "Dia mewarisi seratus persen gen seniman dari orang tuanya."

Lantas menyesap kopinya, Mirae kembali bersuara. "Gen orang tuaku sepertinya tidak ada yang menurun padaku," gumamnya sebelum mengerucutkan bibirnya ke samping dan berbalik, melangkah masuk kembali ke dalam kamar. "Mereka bodoh, aku pintar sendiri."

Ia mengganti sendal rumah yang dikenakannya dengan sepasang flat shoes hitam yang sudah disiapkannya di samping kasur. "Ini lebih baik daripada heels." Ia bergumam.

Diletakkannya cangkir putih dalam genggamannya ke atas meja. Meraih kembali ponsel, dan memasukkan benda itu asal ke dalam tas tangan di atas sana. Sebelum kemudian melangkah keluar dari kamar dengan tasnya itu.

Ketika baru saja kembali menutup pintu kamar, ia menepuk dahi, buru-buru kembali membuka pintu masuk ke dalam kamar. Ia biarkan pintu itu terbuka sementara dirinya langsung mendaratkan diri di depan meja rias, tepat di sisi pintu.

Ex Manager ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang