Kaki Ambar terasa kaku karena harus melewati meja makan dimana mama papanya sedang makan dengan hening, tanpa mengobrol, seperti biasa. Suasana mencekam sering Ambar rasakan saat kedua orangtuanya sedang berada dirumah seperti sekarang.
Karena tak ada pilihan lain, dan ia harus segera berangkat ke sekolah, Ambar memberanikan diri menghampiri orangtuanya untuk berpamitan.
"P--pa, Ma, A--ambar b--berangkat ke s--sekolah ya."
Tak ada sahutan, sapaan, atau ucapan hati-hati dari kedua bibir orangtuanya, hanya lirikan tajam sang papa dan tatapan dingin sang mama yang semakin membuat Ambar merasa asing.
Ambar memilih untuk langsung melangkah keluar namun suara papanya membuat langkahnya berhenti, "mulai sekarang, jangan pake mobil kemanapun kamu pergi, Ambar. Saya ngga sudi fasilitas saya dipake anak pembangkang."
"I--iiya pa," Ambar sedikit berlari melanjutkan langkahnya, ia menggigit bibir bawahnya yang masih terluka lalu mencoba tersenyum.
Ambar meraih ponsel di saku seragamnya hendak memesan ojol untuk pergi ke sekolah. Namun sebuah deruman motor langsung membuat atensinya teralih, matanya menangkap sosok yang sangat tak asing untuknya belakangan ini.
"Jino? Ngapain disini?"
Jino membuka kaca helmnya dan melirik menatap Ambar, "ngasih tebengan cewek bunting."
Mata Ambar membulat sempurna.
Apa katanya?
Cewek bunting?
Emang siapa yang udah bikin dirinya berbadan dua kalo bukan yang ngomong?
Enak aja!
Bibir Ambar mencebik.
"Udah ngedumel nya? Mau bareng gue ngga?"
Ambar melihat arloji di pergelangan tangan kirinya, bel sekolah lima belas menit lagi, itu artinya kalau ia harus memesan ojol terlebih dahulu, kemungkinan besar Ambar bisa telat sampai sekolahnya.
"Iya, Ambar nebeng ngga papa? Tapi ngga bayar kan?"
Jino mendelik, "bayar, pake nyawa lo." namun tak ayal Jino tetap menyodorkan helm pada Ambar yang langsung dipakai olehnya.
Ambar mengerucutkan bibirnya lalu naik ke motor gede Jino dengan memegang bahu tegap cowok itu.
"Pegangan, kalo lo mau selamat." belum sempat Ambar menyahut, Jino telah menancap gas motornya hingga dengan refleks Ambar langsung memeluk Jino, takut kalau dia akan jatuh ke aspal. Bagaimana pun ia masih ingin hidup lama.
Motor Jino memasuki pekarangan sekolah dan terpakir pas di jejeran motor yang Ambar yakini adalah motor teman-teman Jino, karena terdapat stiker yang sama di motor mereka.
"Makasih Jino, Ambar mau ke kelas. Nih helm nya." Ambar menyerahkan helmnya pada Jino yang langsung diterimanya.
Jino melihat kepergian Ambar dengan tatapan datarnya.
"Wei!!! Ngapa bengong sih bos? Masih pagi udah ngundang setan biar masuk ke jiwa lo yang kosong."
Jino berdecak mendengar ucapan sompral Fauzan yang menghampirinya entah dari mana, juga disusul Zaidan yang berada di sebelah Fauzan.
"Kangen sekolah ya, Ji?" goda Zaidan, karena memang Jino baru masuk kembali ke sekolahnya hari ini.
Luka Jino pun sudah dibilang cukup mendingan, walaupun ada beberapa titik di wajahnya masih dihiasi bekas memar.
"Kalo gue ngga sekolah, lo pada ngacau ntar." jawab Jino sambil berjalan mendahului Fauzan dan Zaidan.
Fauzan dan Zaidan langsung mengimbangi langkah Jino yang kemudian mereka berjalan disamping kanan dan kiri Jino.
KAMU SEDANG MEMBACA
JINOVAR [Completed]
Teen Fiction[FOLLOW DULU, BEBERAPA PART DI PRIVATE] Family Series : 3rd Jinovar Guinandra Dimitri, cowok berperawakan tinggi, tegap, dan gagah itu merupakan ketua dari geng motor yang paling ditakuti dijalanan, ZELVAGOS. Ia tak mempunyai rasa belas kasihan sedi...