32. Ikhlas

78 16 0
                                    

Ruang hampa penuh bintik, itulah deskripsi pertama yang di simpulkan Allisya. Ada sebuah sinar menari dalam ruang hampa ini, seperti fenomena Aurora Borealis, biasanya bisa di lihat dari perbatasan utara Norwegia ke Jokkmokk.

Tepat setelah sinar Aurora itu melintasinya, Allisya dapat melihat Dayat, Karin, dan Hadi berdiri dihadapannya. Mata Allisya berkaca-kaca, adiknya telah berada di tangan mereka dalam keadaan baik-baik saja, ucapan syukur tidak berhenti terucap dalam hatinya.

"Kamu kembali, dek," Allisya berlari memeluk Dayat.

"Kakak juga harus kembali," ucap Dayat meneteskan airmata.

"Tunggu, aku mau melihat semua bintang dan planet seluruh alam semesta," papar Allisya mendongkakkan kepalanya menatap takjub, pandangan Allisya menurun melihat kebawah. Alangkah terkejutnya ia saat menyadari bahwa saat ini mereka berempat tidak berpijak sama sekali, anehnya mereka tampak berdiri tegak seolah terikat dari atas.

Mata Allisya semakin membesar, melihat jari tangannya ada 11 jari. "Lucid Dream," ucap Allisya kaget. Allisya ingin berteriak bahagia, keinginannya dapat melakukan Lucid Dream dan pergi ke ruang angkasa kini menjadi kenyataan. Tetapi, jika ia bersorak bahagia maka kemungkinan besar ia akan terbangun dan mungkin akan sulit lagi untuk melakukan Lucid Dream.

Allisya ingat betul, terakhir mereka tabrakan. Mobil mereka oleng hingga menabrak pohon, setelah itu Allisya sudah tidak ingat apa-apa dan di sinilah dia berakhir.

"Dayat! Jangan berlari, sayang!" Teriak Karin memperingati.

Dayat berbalik badan dan tersenyum sendu, "aku akan berlari, Mah. Aku tidak akan tertangkap lagi." Anak pecinta susu pisang itu kembali berlarian di alam semesta.

Melihat itu Allisya juga ikut bereksplorasi, ia mulai melangkahkan kakinya mendekat kearah bintang besar, Aldebaran.

"Kakak!!" Teriak Dayat berlari mendekati Allisya, memeluk kaki sang kakak.

Allisya hilang kendali, dia terjatuh. Anehnya Allisya merasa semakin jatuh jauh ke bawah. Tiba-tiba badan Allisya terbalik hingga dengan jelas Allisya melihat dirinya akan memasuki lubang hitam. Dekat dan semakin dekat, tarikan kuat semakin terasa. Allisya segera memejamkan mata seraya berucap, "jika aku membuka mata, aku akan terbangun."

Benar saja, kini Allisya merasakan ada selimut yang membaluti tubuhnya. Huft ... Allisya bernapas lega, tadi itu adalah mimpi yang melegakan sekaligus menakutkan.

Allisya melirik tangannya, ada selang yang terpasang. Tapi, ini bukan rumah sakit melainkan kamarnya sendiri. Tanpa pikir panjang Allisya mencabut selang itu dan mencari perban untuk menghentikan darah yang keluar.

Setelah selesai dengan tangannya Allisya berlari keluar dan menuruni tangga. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan Sang Adik. Derap langkah Allisya terhenti pada anak tangga terakhir, suara tangis mengusik pendengarannya. Bukan satu, hampir satu ruangan dipenuhi suara tangis.

"Ben," panggil Allisya, kebetulan Ben duduk menunduk di samping tangga.

"Lo udah sadar." Ben berdiri memberikan senyum lebar pada Allisya. Nyatanya itu hanyalah senyum paksa, terlihat jelas mata Ben berkaca-kaca, bibir Ben pun tampak bergetar.

"Ada apa?" Bukannya menjawab Ben mendekat, memeluk Allisya erat.

"Ben-- kenapa?" Tanya Allisya pelan, rasa cemas masuk dalam relung hatinya.

Ben mundur beberapa langkah, ia menunduk sambil menghapus jejak air mata yang sedari tadi tidak mau berhenti turun. Ben menghirup udara, menerawang apa yang akan Allisya lakukan setelah mengetahui bahwa adiknya telah pergi untuk selamanya.

ADOLESCENCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang