36. Konjungsi

67 14 0
                                    

Jam telah menunjukkan pukul 1 dini hari, tetapi Allisya belum menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan beranjak dari sana. Allisya akui suhu semakin dingin, apa boleh buat ambisinya untuk melihat konjungsi Venus dan bulan lebih besar daripada rasa kantuknya.

Sebuah teleskop telah siap disampingnya, butuh beberapa menit untuk merakit. Untung Allisya sudah sering menggunakannya jadi dia tidak merasa terbebani. Rasi bintang Kaus Australis telah nampak diikuti bintang terang berwarna oranye namun, posisinya belum tepat untuk diamati menggunakan teleskop.

Selagi menunggu waktu itu tiba Allisya lebih memilih membaca buku kosmos. Tanpa Allisya sadari napas panjang telah ia keluarkan, mengingat ujian telah selesai dan ada 2 minggu waktu untuk memperbaiki nilai sebelum penerimaan rapor. Sayangnya bukan itu yang Allisya permasalahkan, Allisya sadar ia tidak terlalu bekerja keras karena tidak ingin menduduki peringkat pertama, tapi Allisya lebih takut jika keluar dari 5 besar. Reas akan marah.

Percayalah dibawah tekanan itu sangat menyakitkan.

Allisya menutup buku itu cukup kasar, ia beranjak mematikan lampu balkon untuk melatih ketajaman penglihatannya sebab 30 menit lagi Venus telah mencapai titik terdekatnya dengan bumi.

Bukannya menatap langit, Allisya malah menajamkan penglihatannya. Jika tidak salah lihat ada seseorang yang berjalan mengendap-endap sehabis loncat dari pion rumah.

"Udah jam 1 lewat, setan lagi jahil," gumam Allisya berpikir positif.

Bukan langsung memutuskan hanya saja yang Allisya lihat hanyalah bayangan. Tiba-tiba terdengar suara cicak, Allisya merinding. Cicak berarti tanda buruk bukan?

"Apaan sih! Make acara parno segala." Allisya bertepuk tangan kecil menertawakan dirinya.

"Tapi ngeri juga, Anjir!" Allisya bergidik ngeri mengelus lengannya berjalan masuk ke dalam kamar.

Ia menatap sekeliling dengan pandangan kaku, hei Allisya itu jarang percaya akan hal mistis. Tapi ntah kenapa tubuhnya malah merespon dan seolah mengatakan ia sedang dalam bahaya. Kening Allisya berkedut, hidungnya samar-samar mengendus bau.

"Huaaa... Bau amis...!" Pekik Allisya loncat ke kasur menarik selimut dan mengurung dirinya.

Tangan Allisya bergerak mencari sesuatu, setelah mendapat handphone jari Allisya bergerak cepat mencari kontak tujuannya.

"Angkat, Ga!" Mohon Allisya.

Tak lama, layar handphone Allisya menjadi gelap.

"Hmm," gumam dari seberang sama dengan suara serak membuat Allisya sadar bahwa ia mengganggu jam tidur seseorang.

Persetan dengan itu, pikir Allisya.

"Gelap woi!" Teriak Allisya membuat Saga meringis mengusap telinganya.

"Ga! Pake baju dulu! Gue cewek, Bangke!" Teriak Allisya lagi.

"Brisik lu ah."

"Buruan, Ga. Gue butuh bantuan lo," pinta Allisya.

"Apaan!" Nada ketus Saga membuat Allisya ikut meringis.

"Jadi tadi gue liat bayangan item lompat dari balkon utama, habis itu gue masuk ke kamar eh malah nyium bau amis. Gue gak takut tapi gue mohon bantu gue dong usir setannya, gue ada acara khusus dengan teleskop gue habis ini," rengek Allisya.

"Kirain apaan," decak malas Saga kembali menutup mata.

"Saga...! Bantuin."

"Ck! Semakin lo sembunyi mereka semakin senang ganggu lo. Buruan tunjukin kamar lo, gue ngant– hoam...."

ADOLESCENCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang