34. Membantu

65 16 3
                                    

“Manusia dikutuk untuk bebas.”

_Jean-paul sartre_

Kenzie berjalan lesu memasuki rumah, satu tangannya berada di kepala mencengkeram erat rambut. Kenzie meringis ketika ujung sapu tepat mendarat di bokongnya.

"Mabuk lagi kamu?!" Gertak Mirna.

"Mama ngadi-ngadi, emang aku pernah mabuk. Aish... Tulang ekor ku retak, Mak," ringis Kenzie.

"Jalan sempoyongan gitu apalagi namanya kalu bukan mabuk!" Mirna mendekatkan wajahnya, "Tuhkan mulut kamu bau alkohol," tuduh Mirna.

"Alkohol dari mana, orang Kenzie cuma minum soda. Mama mah kek titisan Dajjal, fitnah Kenzie mulu," rajuk Kenzie menghindari kontak mata.

"Heh!" Mirna melototkan matanya menatap Kenzie garang.

"Kenzie ke kamar," pamit Kenzie.

"Mama mau keluar, jagain a–"

"Orang rumahkan banyak suruh mereka aja" potong Kenzie.

Setelah itu, Kenzie melanjutkan langkahnya memasuki kamar dan mencari buku bersampul biru yang berjudul 'ADOLESCENCE'

Kenshi mengusap perlahan buku tersebut, "Apa sebenarnya yang terjadi sama lo, kenapa harus sampai menutup hati untuk gue," ucap Kenzie pelan.

Tanpa mengganti baju rumahan Kenzie duduk di kasur dan kembali melanjutkan bacaannya.

••••••

Seperti tak tau etika Allisya menyela pembicaraan komite kepolisian bersama seseorang. Emosi Allisya sudah berada di ubun-ubun, rasanya akan meledak saat ini juga.

"Kenapa kasus adik saya ditutup?!" Tanya Allisya menatap polisi tersebut dengan tajam.

"Maaf, Mbak. Tunggu sebentar," kata polisi itu dan kembali berbicara dengan seseorang dibalik tudung hitam, Allisya memperhatikan sejenak.

Allisya tidak peduli, ia kembali mencari polisi yang sempat menolongnya dulu saat Monica menyekapnya.

Brakk

Allisya mengebrak meja dengan keras hingga membuat beberapa polisi menatap kearahnya.

"Kenapa kalian menutup kasus adik saya!?!?" Teriak Allisya lantang.

"Tenang dulu, Dek. Bisa bicarakan baik-baik?"

"Kenapa kalian menutup kasus adik saya?!" Ulang Allisya.

"Kasus yang mana?"

"Kasus pembunuhan cucu gen keempat keluarga Andreas."

Raut wajah polisi itu berubah, "bisa ikut saya." Allisya menurut saja, iya masih butuh kejelasan.

Tanpa dipersilahkan Allisya duduk di kursi tamu polisi muda yang sedang menggeledah laci. Allisya berdecak malas, apakah selama itu untuk langsung berbicara.

"Silahkan baca," ucapnya menyerahkan map merah.

Dengan amat teliti Allisya membaca tiap baris, tak ayal jika Allisya membacanya berulang kali agar lebih paham dari apa yang Reas jelaskan sebelum Allisya mengamuk pergi ke kantor polisi. Sungguh lancang, Allisya melempar map itu ke sembarang arah, matanya seolah berapi-api.

"Kalau ini saya juga tau, yang saya pertanyakan kenapa kalian begitu mudah menutup kasus ini atas permintaan keluarga saya. Tidakkah kalian berpikir kalau hal ini sama saja berarti kalian membiarkan pembunuhan berantai berkeliaran?!"

ADOLESCENCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang