42. Puncak dari semuanya

74 13 0
                                    

Sang fajar telah nampak dan mata Allisya masih saja terbuka. Allisya tidak dapat tidur semalaman hingga matanya memerah, tak hanya itu kantung mata sangat kentara pada kulit wajah Allisya yang berwarna putih. Jangan lupakan bibir Allisya berwarna pucat.

Allisya masih setia memeluk lututnya. Akibat kurang tidur kepala Allisya terasa sakit. Berulangkali Allisya menutup mata, namun sakit kepala itu sungguh menyiksa.

Wajah Allisya sudah tidak terlihat sembab, sebab Allisya telah mengompresnya. Percuma saja mau sekuat apapun Allisya untuk tidur badannya selalu bergerak gelisah. Allisya pun memutuskan untuk turun saja untuk sarapan, kebetulan perutnya keroncongan.

"Pagi, Mah," sapa Allisya lesu duduk menatap Karin sedang mengoleskan selai kacang.

"Pagi ... Kamu mau makan apa? Mama buatkan," tawar Karin.

"Roti aja, Mah. Cuma buat ganjal perut doang." Allisya masih menjawab lesu.

"Kamu kurang tidur pasti, muka kamu lemes amat," kata Karin.

"Bukan kurang tidur, aku memang gak bisa tidur, Mah," batin Allisya.

Allisya tidak membalas ucapan Karin, ia hanya tersenyum tipis.

"Kamu beneran mau makan roti aja, gak mau mama masakin gitu? Kapan lagi kamu makan masakan mama," canda Karin menyimpan roti depan Allisya

"Kemarin aku makan kali," ucap Allisya sebelum memasukkan roti ke dalam mulutnya, "lagi pula roti ini mama yang oles, artinya sama aja kalau mama yang buat."

Ting tong

"Papa pulang!"

Ntah kekuatan dari mana Allisya dapatkan, ia berlari cukup kencang memeluk Hadi. Papanya baru tiba dari Manado. Dalam pelukan Hadi, Allisya tersenyum, sebelum Dayat tiada anak itulah yang ada dalam posisi ini. Sekarang, Allisya merasakan ada Dayat dalam tubuhnya, tidak salah juga karena mereka bersaudara.

"Allisya kangen, Pah." Allisya semakin mengeratkan pelukannya.

"Papa juga kangen kamu, sayang." Hadi mengelus lembut rambut Allisya.

Allisya seperti monyet bergelantungan pada Hadi, Allisya sangat enggan melepas pelukan mereka. Ada sesuatu yang ganjal dalam hatinya.

"Allisya, biarin papa mandi dulu, Nak. Papa dari luar kota lhoo," ucap Karin.

"Gak mau!"

"Allisya ...."

"Gak mau, mamah. All masih kangen sama papa!" Kekeuh Allisya.

"Ayolah, sayang. Kamu mengingatkan papa pada adikmu." Hadi mengelus rambut Allisya pelan. Allisya menguraikan pelukannya, ia tersenyum lembut.

"Allisya juga kangen, Pah." Senyum tulus dan tatapan sendu keluar dari wajah Allisya, "papah mandi dulu aja, ntar Allisya mau minta oleh-oleh. Jangan bilang papa lupa yah ...."

"Ada dalam mobil, nanti Ali bawa masuk," jawab Hadi dan berlalu.

"Allisya ayo, kamu belum selesai makan," panggil Karin. Allisya mengangguk pelan lalu mengekori Karin.

Segaris terlihat muncul pada bibir Allisya. "Ternyata tersenyum dan berpura-pura baik-baik saja tidak semudah yang gue kira. Rasanya sakit," batin Allisya.

Usai sarapan, Allisya beranjak menuju ruang keluarga untuk menonton TV. Matanya masih ingin terbuka meskipun Allisya sudah meminum susu. Sudahlah jangan dipaksakan.

Seraya menunggu Hadi selesai mandi, Allisya mengambil PS Dayat dan mulai memainkannya. Tak disangka Allisya cukup mahir memainkannya.

"Non, mau cemilan apa?" Tanya Bu Nesa.

ADOLESCENCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang