21. Percaya

90 12 2
                                    

"Papa, gak ikut sarapan?" Tanya Allisya melirik kursi Hadi.

"Nggak dulu, semalam Papa gak bisa tidur jadi biarin aja," jawab Karin tanpa melihat Allisya. Ia sibuk mengoleskan Nutella pada roti.

"Ini kerugian paling besar selama ini, malah aku juga ikut pusing," ucap Allisya dengan tatapan kosong.

Karin mendekati Allisya dan mengelus kepala putri kesayangannya. "Kamu gak perlu mikirin itu, ini urusan Mama dan Papa. Kamu sekolah aja yang benar, bikin kami bangga."

Allisya terdiam, dengan masa seperti ini biasakan dia membanggakan orang tuanya? Bahkan masalah di sekolah pun belum selesai. Citranya di sekolah mungkin sudah tercoreng.

"Mah, aku udah mau berangkat, aku pamit. Assalamu'alaikum..., " Salam Allisya menyalami Karin.

"Waalaikumsalam."

Allisya segera berlari keluar memakai sepatu. Tasnya sudah compang-camping akibat berlari tadi.

"Udah mau berangkat, Non?" Sapa Bu Nesa, sepertinya ia baru saja kembali dari ladang dekat taman di belakang.

"Iya, Bu. Kang Ali mana kemana ya dari tadi gak keliatan," ucap Allisya celingukan.

"Tadi Ali temanin Lastri ke pasar, mungkin udah kena macet."

"Truss aku ke sekolah naik apa, motor di pakai sama mereka." Bahu Allisya merosot begitu saja. Allisya belum begitu mahir menggunakan mobil.

Lagi pula peran Allisya di sekolah sebagai warga biasa. Bukan anak orang kaya, pasti akan mengagetkan jika Allisya tiba-tiba datang pake mobil.

Allisya terdiam memikirkan berbagai hal agar dapat pergi ke sekolah tepat waktu. Sesil pernah mengajarkan Allisya jurus angkot menuju sekolah, Allisya harus berpikir matang. Pasalnya Allisya tidak begitu mengerti.

"Terpaksa pake Angkot," gerutu Allisya, kembali berlari. Takut Angkot terakhir akan segera lewat.

Beruntung tepat Allisya menunggu ada angkot yang singgah, baiknya lagi searah. Tak pikir lama Allisya langsung naik meski campuran bau sudah menusuk hidungnya. Mau bagaimana lagi Allisya harus tahan. Perlu di garis bawahi ini bukan kali pertama Allisya naik angkot.

"Tadi gue udah ngucapin salam ke Bu Nesa apa belum yah?" Pikir Allisya sendiri. Pikiran itu datang begitu saja di otaknya.

"Kayaknya belum," gumam Allisya begitu lirih.

Allisya mengangkat kepalanya, mengengok sana-sini. Dia merasakan sedang di awasi. Tapi terlihat semua penumpang fokus pada kegiatan mereka masing-masing. Mungkin Allisya berada di keramaian. Iya mungkin itu sebabnya.

Allisya melihat keluar, di sana perempatan tempat Hadi menurunkannya waktu itu telah nampak.

"Di depan Assalamu'alaikum ya, Bang!!" Teriak Allisya.

Nah kan, karena terlalu fokus berpikir bahwa ia telah mengucapkan salam pada Bu Nesa apa belum, Allisya sampai salah ucap.

"Emang ada apa, Neng?" Tanya Sopir angkot itu bingung. Kenapa harus salam segala.

"M–maksudnya kiri, Bang," ucap Allisya memperjelas. Wajah Allisya sudah semetah tomat.

Malunya bukan maen cuy...

Mobil telah berhenti, Allisya segera turun dan membayar. Sungguh menyebalkan, di saat angkot itu mulai jalan, seluruh penumpang dan sang sopir berteriak, "ASSALAMULAIKUM!!"

Allisya mengepalkan tangan, pagi-pagi begini dia sudah kena julit dari banyak orang. Tak ada yang berbeda, Allisya selalu berjalan menggunakan earphone. Tanpa earphone hidup Allisya akan terasa berbeda dan agak menyeramkan.

ADOLESCENCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang