23. Stay Here, Please...

86 13 0
                                    

Brakk

"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SITU!!" Teriak murka Bu Cila saat mendapati beberapa murid menguping pembicaraan mereka semua dari luar.

"A-anu, bukan saya, Bu," ucap Arya gagu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Lo sih!!" Tunjuk Anin pada Arya kesal.

"Bukan, Njir. dia yang dorong gue," tunjuk Arya menunjuk anak kelas lain.

"Habisnya gue gak dengar." tidak merasa bersalah, anak itu tetap tertawa. Berbeda dengan Anin yang sudah cemas akan jabatan. Dia adalah wakil ketua kelas, seharusnya dia mencerminkan sikap yang baik.

"Pergi dari sana!!"

Mendengar itu beberapa siswa penguping tadi segera berlari koncar-kancir meninggalkan ruang BK. Beruntung tidak kena hukum, pikir mereka.

"Gue kecewa sama lo!" Ucap Allisya penuh penekanan.

Dengan sengaja Allisya menyenggol keras bahu Nila, pandang matanya terus menatap kosong ke depan, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kuku panjangnya menembus kulit.

Allisya menutup wc sekali dorongan. Tangannya kini berganti menarik rambutnya kuat. Tidak perduli akan darah yang terus merembes keluar. Allisya menatap dirinya di pantulan cermin.

Kepalanya tidak berhenti menggeleng menandakan dia tidak mau percaya dengan semua ini, kejadian ini, dan kemalangan yang terjadi padanya.

Tidakkah Tuhan kasihan padanya? Takdir apa yang Ia berikan pada sosok lemah ini. Dia ingin mempunyai seseorang yang tulus menemani, tapi kenapa setiap bertemu seseorang, dia akan mendapat kesialan, mereka selalu berhianat, atau hanya dirinya yang selalu memilih orang yang salah dari sekian banyak orang baik di dunia ini. Allisya percaya, meski dunia sekarang penuh dengan sandiwara tentu masih ada orang baik.

Tuhan belum mempertemukan mereka, itulah pertanyaan yang harus Allisya dengar kala itu.

Tapi otaknya dan hatinya bersekutu, mereka sama-sama menolak untuk bertemu dengan orang baru. Pikiran Allisya terus berprasangka buruk bahwa semua orang itu sama saja.

"Tchh!! Nasib lo selalu buruk!!" Maki Allisya menunjuk dirinya sendiri di cermin. Bibirnya membuat garis miring, matanya berkedut meremehkan.

Lagi pula apa yang bisa di harapkan pada seorang manusia? Setiap orang memiliki jiwa kejahatan. Dan beberapa orang lebih memilih untuk menyimpannya di alam bawah sadar paling dalam.

Ceklek

Pria bermata sipit itu melangkah masuk ke dalam. Ben tau ini adalah WC khusus perempuan, mau bagaimana lagi Allisya ada di dalam. Ben berniat untuk membawa Allisya pulang terlebih dahulu. Tidak baik kondisi Allisya jika berada di lingkungan sekolah saat ini.

Apalagi identitas pernyataan bahwa Allisya adalah keturunan keluarga Andreas akan membuat beberapa orang gencar mendekati Allisya. Di kondisi seperti ini Allisya membutuhkan dukungan bukan tekanan.

"Pulang dulu yuk," ajak Ben berjongkok di depan Allisya yang terduduk di lantai sembari menarik rambutnya sendiri.

"Kemana?" Dengan wajah merah Allisya melepas cengkeraman pada rambutnya.

"Ke alam barzah mau?" Ben tertawa kecil hingga menampilkan gummy smile dan eye smile yang sudah menjadi kegemaran keluarga Andreas.

"Gak usah ngomong, mulut lo macam babi!!"

"Mulai kasar yaaa...." Ben berkacak pinggang.

"Gak ada orang juga," ucap Allisya melirik sekitar.

ADOLESCENCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang