33. Kinara

67 14 2
                                    

"Lo musti nyesel parah gak ikut kemarin, Aldi aja capek nyuruh gue mingkem."

"Bener, Bil. Berasa terhormat gue bisa pergi ke salah satu istana Andreas."

"Aaa... Tu sebenarnya rumah apa istana sih?! Mewah bener dah."

Allisya menghembuskan napas gusar, harusnya dia izin sakit saja kemarin. Kalau saja tidak ada pengacakan tempat duduk hari ini Allisya tidak mungkin datang sekarang, ia masih dalam suasana duka. Lebih baik diam di rumah, mengikhlaskan segalanya dan belajar karena senin depan ulangan semester satu akan dimulai.

Allisya sengaja menginjak kaleng soda yang berada di depan pintu sebagai tanda ia telah datang dan tolong jangan melanjutkan pembicaraan memuakkan kalian. Itulah mengapa Allisya lebih suka menyembunyikan marga keluarga, emang siapa sih yang mau mencampakkan orang tersorot.

Benar saja, melihat Allisya datang, kerumunan tadi langsung berhamburan. Mereka kembali ke tempat dengan wajah tegang.

"Udah dateng, kirain masih izin," ucap Kinara basa-basi.

"Awas, gue mau duduk dekat jendela," tegur Allisya melihat Kinara duduk ditempatnya.

"Iya-iya gua cuma jagain tempat lo doang, tadi Si Aldi pengen duduk di sini.

Allisya tau itu hanya kebohongan belaka, lagipula buat apa Aldi  duduk di mejanya, sedangkan ia punya tempat sendiri.

"Gimana, udah baikan?"

"Gue rasa setiap manusia pernah mendapat duka, harusnya lo gak bertanya karena jelas lo udah tau kalau gue gak baik-baik aja," jawab Allisya datar.

Kinara meringis, Allisya masih menutup hati. Lagi dan lagi dia salah bicara, padahal niatnya baik untuk mengurangi rasa canggung.

"Ulangan nanti kita sebelahan yah, gue belum terlalu akrab dengan siswa di sini," cakap Kinara memecah keheningan.

"Emang kita udah akrab." Allisya terkekeh kecil melirik Kinara, "gue duduk di samping Nabila." Allisya berjalan keluar mendekati Nabila, mengucapkan beberapa kata yang membuat Nabila mengangguk.

"Kapan janjiannya, kok gak bilang gue dulu. Kalo gitu gue cari teman dari kemaren," rengek Kinara cemberut.

"Udah gue bilang jangan terlalu banyak berharap sama gue."

Kinara diam, Allisya pun ikut terdiam, ia lebih memilih memainkan gadget sampai guru mata pelajaran pertama masuk, berbeda dengan Kinara yang sibuk menatap sekitar dengan wajah bertumpu pada telapak tangan dan jari satunya sibuk mengetuk meja. Kinara tidak terbiasa diam, mulutnya selalu saja ingin berbicara.

"Allisya dengar—"

"Assalamu'alaikum, anak-anak."

Kinara mengerang, mulutnya komat-kamit melontarkan keluhan kekesalan.

"Brisik!" Cetus Allisya membuat Kinara kembali terdiam.

Selama pelajaran Allisya hanya diam melamun, buku terbuka ia acuhkan begitu saja padahal catatan di depan adalah kisi-kisi pelajaran sejarah.

"Nanti juga bakal ada yang share di GC," pikir Allisya.

Merasa Kinara terus-terusan memanggil nama Allisya, sesekali menyenggol bahu Allisya agar Allisya segera merespon. Merasa jengah Allisya menatap Kinara garang.

"Apaan sih!" Bukannya menjawab Kinara malah menunjuk ke depan.

"Apa?! Gak mau punya nilai tinggi kamu. Allisya, punya keluarga terpandang bukan berarti kamu bisa semena-mena, kalian ini harus belajar tinggi-tinggi biar bisa membuat Indonesia lebih maju," sosor Bu Nini berkacak pinggang.

ADOLESCENCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang