25. Sadar

87 15 1
                                    

“Terkadang orang terdekat adalah pemicu depresi yang hebat.”

_Up Twitter_

Warna merah di pipi Allisya kembali dalam bentuk yang berbeda. Bekas telapak tangan terlihat abstrak di sana. Andra berusaha keras untuk menahan Allisya meski gadis berambut cokelat pekat itu terus memberontak, tidak memperdulikan rasa sakit di punggung tangannya akibat suntikan cairan yang bergeser.

"Stop sakitin diri lo, lo gak bisa selesaikan Masalah dengan cara ini."

"Gue harus apa Andra? Gue cewek bodoh, gue gak bisa bedain orang baik ataupun buruk."

"Bahkan gue gak tau sekarang ini apa bisa gue percaya dengan diri gue."

"Gue pengecut!!" Ucap Allisya naik satu oktaf.

Tanpa pikir panjang Andra langsung memeluk Allisya erat, satu tangan Andra menghentikan gerak tangan Allisya yang hendak memberontak.

Tangis Allisya pecah begitu saja, ada rasa sakit begitu dalam dari lubuk hatinya. Suara tangis Allisya memenuhi ruang selebar 4 meter ini. Saking kerasnya Saga, Eza, Gilang serta Dayat dapat mendengar tangisan Allisya dari taman yang terletak tidak jauh dari kamar Allisya.

"Menangis ... Keluarkan semua, jangan lo tahan. Buat diri lo lega, gue disini," bisik Andra.

"Gue gak bisa lagi, gue gak tahan bersikap baik demi citra keluarga. Gak gak bisa di kekang lagi ... Gue– gue capek .... " Racau Allisya begitu lirih.

Mereka yang terlihat baik tidak selamanya baik, manusia pandai bersandiwara, menyembunyikan keburukan dan hanya menampilkan kebajikan. Untuk apa? Tentu untuk pujian.

Andra tidak dapat menjawab, ia melepaskan cengkraman di tangan Allisya lalu beralih memeluk Allisya begitu erat. Andra sadar jika bukan perkataan barang kali pelukan hangat dapat menenangkan.

Perlahan tangisan Allisya mereda, tangan mungil putih itu jatuh, tidak lagi memukul dada bidang Andra sebagai pelampiasan. Jangan tanyakan pada Andra, tentu sakit. Tak hanya di luar tetapi ada rasa sakit juga di dalam. Melihat gadisnya menangis meraung-raung seperti tadi membuat Andra ikut sesak.

Andra tidak dapat pungkiri bahwa hatinya memang telah jatuh pada seorang cewek, tempatnya meminta pulpen pada hari pertama dia masuk sekolah. Takdir tidak ada yang tau. Berawal dari meminta pulpen malah berlanjut pada pertengkaran Monica waktu itu, hingga pada akhirnya Andra memberanikan diri untuk menjadikan Allisya sebagai pacar kontrak. Siapa sangka sekarang Allisya telah menjadi kekasihnya, bukan kontrak tapi sungguhan.

Mendengar napas yang stabil, Andra melonggarkan pelukannya menatap Allisya sebentar, ternyata Allisya tertidur. Dengan cekatan Andra membaringkan tubuh panas Allisya. Merapikan surai halus berwarna cokelat pekat Allisya hati-hati karena rambut Allisya lengket di sebabkan air mata yang telah mengering.

Andra tau sikapnya kali ini sangat lancang, tapi ia tidak dapat menahan diri untuk mengecup pucuk kepala Allisya penuh sayang, "tidurlah," usapnya pelan.

Melihat Allisya tertidur pulas membuat Andra lega. Namun, melihat wajah sembab Allisya membuat hati Andra ngilu. Andra menyentuh dadanya, merasakan detak jantung yang terpompa kencang.

"Semoga lo ngerasain hal yang sama," batin Andra.

Pintu terbuka memperlihatkan Dayat digandeng oleh seorang wanita paruh baya di sebelah kiri dan menenteng tas di sebelah tangan.

"Kamu yang di maksud Ali?" Tanyanya. Andra mengangguk dengan wajah bingung.

"Makasih, aduh saya jadi tidak enak sama kamu"

ADOLESCENCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang