Chapter 28

84 20 0
                                    

JANGAN PAKSA AKU UNTUK MEMILIH. KUMOHON. KALIAN SAMA BERHARGANYA.
--RINJANI FABYOLA--

Juna itu sakit. Kanker otak. Itu alasannya kenapa dia ninggalin kamu dulu. Om yang paksa dia ke Jerman untuk berobat. Dia gak mau ngasih tau kamu. Takut kamu sedih, katanya.

Kanker otak?

Jerman?

Sebenarnya ada berapa banyak fakta yang di sembunyikan darinya atau lebih tepatnya, yang tidak di ketahuinya? Sahabat macam apa yang sama sekali tidak menyadari sahabatnya sendiri sedang sakit parah?

Tapi kamu tenang. Juna udah baik-baik aja sekarang. Juna udah sembuh.

Tapi kenapa Juna bisa pingsan dengan hidung yang mengeluarkan darah? Atau perkataan Om Irwan -Ayah Juna- hanya untuk menghibur dirinya?

Rinjani menatap sendu kelopak mata yang enggan terbuka itu. Lalu bulir bening yang sedari tadi di tahan, membuncah keluar, menetesi lengannya yang masih setia menggenggam jemari yang terbebas dari selang infus.

"Maaf," isakan tertahan keluar dari bibir Rinjani yang terus melengkung ke bawah.

Rinjani merasa seperti orang jahat di sini. Dia sama sekali tidak tahu tentang penderitaan yang harus di tanggung cowok itu selama ini. Dirinya telah menuduh yang tidak-tidak saat Juna tiba-tiba menghilang. Lalu, saat cowok itu kembali datang menemuinya, apa yang Rinjani lakukan? Dia malah bersikap buruk, berkata kasar, seolah dirinya, lah, yang paling sedih atas perpisahan itu.

Egois. Ya, Rinjani mengakuinya. Tapi dia benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa saat seseorang yang sangat berarti kembali hadir setelah menghilang tanpa alasan, di saat dia sudah menemukan seseorang yang baru.

Galang.

Tiba-tiba Rinjani teringat pada cowok itu. Sedang apa dia sekarang? Ah, tentu saja sedang belajar di sekolah. Rinjani memutuskan izin selama sehari. Tadi dia sudah menitip pesan pada Dara. Entahlah. Dua hari lagi ujian akan di mulai tapi Rinjani memilih izin.

Lalu perhatiannya kembali terfokus pada Juna. "Brengsek! Kenapa selama ini lo diem aja, hah?! Lo anggep gue sahabat tapi hal sepenting ini lo sembunyiin dari gue! Lo bener-bener...." Rinjani tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, dirinya kembali terisak. Kali ini dia membiarkan tangisnya pecah hingga terdengar cukup keras. Dia menekan dadanya yang terasa sesak.

"Bangun gak lo! Bangun, dasar lemah! Jelasin sama gue semuanya! Kenapa lo selama ini diem aja?! Gue ngerasa jadi orang paling bodoh, tau gak?!!" entah apa yang dilakukan gadis itu, yang jelas tubuh Juna menjadi terguncang kuat. Rinjani dengan sekuat tenaga menggoyangkan tubuh lemah itu dengan air mata yang bercucuran.

Tiba-tiba mesin monitor rumah sakit berbunyi dengan keras. Menandakan sesuatu telah terjadi pada sang pasien. Seketika Rinjani tersadar dengan apa yang baru saja di lakukannya. Dia menutup mulutnya dan mulai panik sendiri.

"Juna... Apa yang gue lakuin?" gumamnya lalu dirinya berteriak memanggil dokter sembari memencet bel yang ada di kepala bangsal.

"DOKTER! DOKTER!"

"Juna maafin gue."

Tak lama masuk seorang Dokter bersama dua orang Suster ke dalam ruangan. Lalu dengan cekatan Dokter itu menangani pasiennya.

"Maaf, silahkan tunggu diluar," kata seorang Suster pada Rinjani.

"Tapi, Sus." Rinjani hendak menolak namun Suster itu terus memaksa. Membuat Rinjani tak ada pilihan lain selain menurut, dia keluar lalu menyandar pada dinding koridor rumah sakit.

Perlahan tubuhnya turun ke bawah hingga terduduk, lalu dia memeluk lututnya sendiri. Kali ini tidak ada isakan yang keluar, hanya air mata yang terus mengalir dengan tatapan kosong.

Entah sudah berapa lama Rinjani tetap dalam posisi itu. Hingga sebuah tangan besar menyentuh pundaknya pun ia tidak menyadari. Barulah ketika tubuhnya di rengkuh oleh seseorang gadis itu mengerjapkan matanya.

Aroma ini. Tanpa harus melihat pun Rinjani sudah tahu siapa orang itu. Laki-laki yang di cintainya. Galang. Dan isakan yang sempat terhenti tadi kembali pecah.

"Ssttt..." Galang menenangkan gadisnya. Mengelus seraya mengecup pucuk kepala Rinjani.

"Gue jahat banget, kan?" racau gadis itu sembari mengeratkan pelukan, menyandar penuh pada sang pacar.

Tak di pungkiri Galang kesal mendengar nada bersalah dari ucapan Rinjani. Mengapa gadis itu mengatakan dirinya jahat? Apa itu di tujukan pada seseorang yang terbaring lemah di bangsal itu?

Brengsek!

Cowok itu. Berani sekali dia mencuri perhatian pacarnya sampai-sampai Rinjani kacau seperti ini.

Saat mengetahui dari Dara bahwa Rinjani tidak masuk sekolah dengan alasan menemani temannya yang sedang di rumah sakit membuat Galang marah. Itu artinya, -walaupun sedikit- Rinjani masih menempatkan Juna di hatinya.

"Berhenti nangis, Rinja. Lo gak tau, kan, seberapa pengennya gue nonjok temen lo itu karna udah bikin lo kaya  gini? Tapi gue gak sepengecut itu mukulin orang yang lagi sekarat."

Refleks, Rinjani memukul dada lebar pacarnya lalu melepas pelukan. "Juna gak sekarat. Dia pasti sembuh!" gerutunya.

"Seberharap itu?" balas Galang. Tangannya terangkat, menghapus jejak air mata sang pacar. Tak menjawab, Rinjani malah memberengut lucu.

Galang terkekeh. "Udah, yuk. Percuma kursi di ciptain kalau lo masih duduk dilantai."

Asli. Hati Galang terasa di remas. Tanpa bertanya pun dia sudah tahu seberapa penting seorang Juna di hidup gadis itu.

"Yakin gak mau pulang?" Galang bertanya setelah mereka duduk di kursi yang berada di depan ruangan Juna. Ngomong-ngomong, keadaan Juna sudah stabil kembali. Tetapi tidak boleh di temui dulu. Setidaknya sekitar satu jam kemudian barulah Dokter mengatakan boleh menemui Juna.

"Gue hampir ngebunuh Juna," Rinjani berujar sedih. Dia memeluk tubuhnya sendiri yang sudah terbalut dengan jaket milik Galang.

"Rin," panggil Galang, namun tidak di dengar oleh gadis itu.

"Liat gue, By." Nada lembut tetapi tegas itu membuat Rinjani menoleh, matanya kembali berkaca-kaca.

Galang menggenggam tangan kurus itu erat, menyatakan kepemilikannya. "Gue tau Juna itu sahabat lo. Gue gak nyalahin lo kalau lo mau nungguin dia. Tapi tolong, perduliin diri lo sendiri. Gak ada yang berubah walau lo terus-terusan nangis kayak gini." Galang menghela napas, mencoba memberi tahu gadisnya ini dengan lembut. "Pulang, gue anter," lanjutnya, kali ini lebih tegas.

Namun, Rinjani malah menggeleng sambil mengalihkan pandangannya ke depan. "Gue gak bisa. Gak ada yang jagain Juna disini. Orang tuanya lagi ada urusan."

"Mau sampai kapan lo disini? Dua hari lagi kita ujian, kalau lo lupa." Tahu, kan, kalau kesabaran itu ada batasnya? Dan sepertinya batas kesabaran Galang semakin menipis saat ini.

"Besok gue sekolah." Sadar akan perubahan Rinjani membuat Galang mengerutkan dahinya. Kenapa gadisnya ini mendadak dingin?

"Ta-"

"Lo kenapa, sih? Gue mau jagain Juna disini. Lo gak usah perduliin gue. Karna sekarang bukan gue lagi yang harus lo perduliin." Suara Rinjani memelan di akhir kalimatnya.

"Maksud lo apa? Lo pacar gue, Rinja," jelas Galang bingung atas perkataan pacarnya.

"Lo tau maksud gue, Lang." Sebisa mungkin Rinjani mengalihkan pandangannya ke arah lain, tak mau menatap cowok yang saat ini menatap Rinjani dengan sorot yang sulit di artikan.

Rinjani berdiri lalu melepas jaket milik Galang, memberinya pada sang pemiliknya kembali. "Mau gimana pun kita usaha, kalau ayah lo nentang hubungan kita, gak akan bisa, Lang."

Galang menatap jaket yang di berikan gadis itu lalu kembali menatap manik sendu itu. "Terus, mau lo gimana?"

"Kita turutin kemauan ayah lo."

TBC

Siapa yang mikir kalau mereka bakal baikan? Wkwk.

RINJALANG [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang