Chapter 44

107 21 5
                                    

HANYA KARENA SATU KESALAHAN. APA ITU TERLALU FATAL?
--RINJANI FABYOLA--

Seorang gadis dengan cardigan ungu tengah berlari kencang menuju pintu masuk utama Bandara setelah turun dari taxi online. Jantungnya berpacu dengan sangat cepat.

Rinjani berlarian kesana kemari, matanya bergerak liar, tidak melewatkan satu sudut pun, juga mengecek semua kursi yang ada. Tetapi nihil. Dia tidak menemukan seseorang yang mungkin tadi sangat mengharapkan kehadirannya. Rinjani terduduk lemas di tengah-tengah keramaian. Dirinya sudah terlambat. Terlambat untuk mengucapkan salam perpisahan untuk laki-laki yang di cintainya.

Bahu gadis itu terguncang hebat, Rinjani menutupi wajahnya dengan telapak tangannya sembari meraung, melampiaskan sebuah penyesalan. Gadis itu sama sekali tidak perduli dengan situasi di sekitarnya, meskipun tengah di jadikan pusat perhatian, Rinjani tetap menangis, bahkan saat ini ia memukul-mukul lantai dengan kepalan tangannya.

"RINJA BODOH!!"

Masih dengan isakan, perlahan Rinjani mendongakkan kepalanya. Ia tidak perduli jika orang-orang menganggapnya aneh bahkan gila sekalipun. Coba saja mereka menggantikan posisi Rinjani, pasti mereka akan paham rasanya.

Di antara banyaknya orang, ada satu titik yang menjadi pusat perhatian Rinjani sekarang. Sepasang suami istri dengan anak kecil di gendongan pria paruh baya. Rinjani yakin itu pasti keluarga pacarnya. Rinjani bangkit lalu segera menghampiri mereka dengan sedikit terhuyung, kepalanya berdenyut akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata.

"Om, Tante," panggil Rinjani setelah berdiri tepat di depan mereka, membuat Salman dan Elma menghentikan langkahnya dan menatap Rinjani.

Elma sedikit terkejut dengan kehadiran Rinjani secara tiba-tiba dan juga cukup terlambat, "Rinjani? Kenapa baru datang?" tanya Elma.

"Rinja ada urusan, Tante. G-Galangnya mana? Dia belum pergi, kan?" Rinjani menatap orang tua Galang dengan tatapan penuh harap, meskipun ia tak tahu apakah harapan itu masih ada atau tidak. Tapi baik Salman ataupun Elma sama-sama bungkam dengan eskpresi yang sulit di artikan.

Melihat keterdiaman mereka, Rinjani kembali merasa putus asa. Air matanya kembali luruh. "Galang udah pergi, ya?" tanyanya, lebih pada dirinya sendiri.

"Kakak siapa? Kok, nanyain Bang Galang?" Titi yang sedari tadi diam, ikut berbicara. Anak kecil itu heran melihat ada orang yang menanyai abangnya sambil menangis. Titi sepertinya tidak mengenali Rinjani, padahal dia dan Rinjani pernah bertemu sekali waktu abangnya menjenguknya ke Bandung. "Kakak temennya Abang? Mau ikut Bang Galang juga, ya? Gak boleh, Kak. Titi aja mau ikut gak di bolehin," ujar Titi dengan polosnya, belum mengerti tentang situasi apa yang saat ini terjadi. Titi hanyalah gadis kecil yang masih berumur tujuh tahun, yang sebentar lagi akan masuk sekolah dasar, meninggalkan masa taman kanak-kanaknya.

Rinjani kembali terisak yang membuat Titi memberontak dari gendongan bundanya. Titi menarik lengan cardigan Rinjani, memintanya untuk berlutut agar tinggi mereka sama. Lalu Titi dengan polosnya menghapus jejak-jejak basah itu sama seperti kebiasaan abangnya. "Kakak sedih karena ditinggal Bang Galang, ya? Sama, Titi juga. Tapi kata Bunda, Abang pergi buat sekolah biar pintar. Terus kata Abang, Titi mau di bawain kanguru. Kakak mau kanguru juga? Biar Titi bilangin." Kata-kata itu memang terdengar polos, tapi sukses membuat Rinjani tersenyum. Tidak menyangka anak sekecil ini sudah sebijak itu berbicara. Rinjani langsung memeluk adik pacarnya itu.

"Iya, bilang ke Bang Galang kalau kakak juga mau kangurunya," ujar Rinjani sambil memegang kedua jemari Titi. Titi mengangguk antusias.

Salman yang menyaksikan itu akhirnya berdehem, membuat Rinjani berdiri kembali. Entah mengapa rasa gugup perlahan menjalari tubuh Rinjani. Dirinya masih sedikit takut ketika harus berhadapan dengan orang yang pernah menentang hubungannya dengan Galang, atau mungkin masih?

"Saya minta maaf," ujar Salman tanpa basa-basi. Jelas Rinjani di buat terkejut dengan pernyataan itu. Rinjani jadi bingung harus merespons apa. Lagi pula ayah pacarnya itu meminta maaf untuk apa?

Karena tidak mendapat respons, Salman melanjutkan, "maaf karena saya pernah menentang hubungan kamu dengan Galang. Tapi itu saya lakukan demi kebaikan keluarga saya. Tapi kamu tidak perlu memikirkan itu sekarang, saya merestui penuh hubungan kalian."

"Jadi kakak ini bukan temennya Abang, tapi pacarnya?" lagi-lagi, Titi bertanya dengan polosnya, membuat kedua orangtuanya terkekeh. Lain halnya dengan Rinjani, dirinya luar biasa lega mendengar kata restu dari calon ayah mertuanya secara langsung.

🌿

Setelah bertemu dengan orang tua dan adik Galang, Rinjani kembali ke rumah sakit. Sebelum menemui Elly, Rinjani terlebih dahulu pergi ke toilet untuk sedikit membenahi dirinya. Gadis itu mengikat rambutnya yang acak-acakan juga mencuci wajahnya yang sembab karena menangis tadi. Tak lupa Rinjani memoleskan bedak terutama di bagian bawah matanya, terakhir Rinjani memakai liptint di bibirnya yang sedikit pucat.

"Oke, beres!" Rinjani memperhatikan penampilannya di cermin lalu memaksakan sebuah senyuman di wajahnya. "Yuk, bisa, yuk!" Rinjani menyemangati dirinya sendiri.

Kemudian Rinjani keluar dari toilet dan langsung berjalan menuju ruangan tempat operasi Juna di lakukan. Di sana masih ada Elly yang terlihat menunggu dengan cemas. Lampu indikator ruang operasi masih menyala, itu artinya operasi masih di lakukan.

"Tante," ujar Rinjani seraya duduk di samping Elly yang menutupi wajahnya.

Elly mengangkat wajahnya, "kamu dari mana aja?" tanya Elly.

Rinjani menggaruk tengkuknya, kikuk. Tadi ia tidak mengatakan yang sebenarnya. Lalu dia harus mengatakan apa sekarang?

Saat tengah berpikir, lampu indikator akhirnya mati yang berarti operasi baru saja selesai. Baik Elly ataupun Rinjani sama-sama menoleh ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi. Mereka berdua bergegas menghampiri sang dokter dan langsung mempertanyakan tentang keadaan Juna.

"Operasi pasien berjalan dengan lancar. Sel tumor yang ada di otak pasien sudah terangkat, dan kondisi pasien saat ini stabil," ujar Dokter Liam sembari tersenyum.

"Alhamdulillah," kata Rinjani dan Elly bersamaan.

"Anak saya sudah bisa di lihat, Dok?" tanya Elly.

"Tunggu sebentar lagi, setelah Juna di pindahkan ke ruang ICU, baru Ibu bisa jenguk, tapi hanya boleh satu orang saja."

Elly mengangguk, "baik, Dok. Terima kasih."

"Sama-sama."

🌿

Rinjani memasuki ruang ICU dengan perlahan, kemudian menutup pintunya kembali. Gadis itu melihat sahabatnya yang terbaring dengan mata tertutup. Dengan memakai baju khusus, Rinjani berjalan mendekati Juna. Memperhatikan wajah Juna dengan alat bantu pernapasan yang di letakkan di bagian hidung dan mulut cowok itu. Saat itu sudah hampir tengah malam. Dan Elly yang lebih dulu masuk baru saja pulang ke rumahnya, menyisakan Rinjani yang saat ini matanya tengah berkaca-kaca. Entah untuk siapa gadis itu menangis, sepenuhnya karena melihat kondisi sahabatnya atau karena alasan lain.

Rinjani duduk di kursi yang berada di samping tempat tidur Juna lalu menggenggam tangan yang bebas dari jarum suntik.

"Maaf, tadi gue ninggalin lo. Gue bener-bener gak tau harus pilih siapa, kalian berdua sama-sama penting buat gue. Dan gue udah terlambat, Jun. Gue...." Rinjani tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi, gadis itu terisak. "Lo harus sembuh, lo kuat, gue tau itu. Jangan lama-lama tutup matanya. Pokoknya besok lo udah harus bangun." Masih dengan deraian air mata, gadis itu menyandarkan kepalanya di pinggir ranjang Juna dengan tangan cowok itu yang masih terus di genggamnya. "Gue capek mau tidur, awas aja kalau besok lo gak sadar pas gue bangun," gumamnya dan mulai memejamkan mata. Ntah bisa tidur nyenyak atau tidak, setidaknya Rinjani perlu mengistirahatkan pikirannya.

TBC

Ngaret banget sih ini😭 otak sama tubuh lagi kerja rodi soalnya:)

RINJALANG [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang