44. I Want You to be Mine🍃

345 48 15
                                    

Sementara itu di dapur, Umi dan El tengah berkutat dengan kegiatan masing-masing. El yang tengah mencuci piring, sedangkan Umi kini membersihkan beberapa sayuran yang baru tadi pagi di beli dari supermarket, untuk di masukkan ke lemari pendingin. Dan jika ada yang bertanya kenapa Afra tak ikut acara makan-makan tadi, karena Afra sudah pamit pulang terlebih dahulu, sebelum berangkat ke rumah El, tiba-tiba saja temannya yang baru pulang dari luar negeri menghubungi untuk bertemu, alhasih gadis itu pulang menaiki taksi.

Umi menatap punggung putrinya, beliau sangat tahu jika kini gadis itu tengah menahan sesuatu, setidaknya itu adalah hal yang bisa membuat dirinya terlihat kuat di depan semua orang.

“El. Kau ingin berbagi cerita dengan Umi, Sayang?”

El menoleh, lalu menggeleng. “Tidak ada, Umi. El baik-baik saja, kok.” Ia kembali pada kegiatannya, Umi masih tak berhenti bertanya.

“El tahu kan? Umi itu adalah sosok pertama untuk anaknya. Apa yang El rasakan terkadang Umi juga ikut merasakan. El tersenyum, Umi ikut tersenyum, El menangis, Umi pun turut menangis, bahkan ketika El merasa sakit, Umi bisa lebih sakit. Umi tidak bisa melihatmu terus seperti ini.” El mengerjab. Ucapan Uminya bagaikan sebuah air yang mengalir pada tanah yang tandus.

“Umi. Kenapa Umi berbicara seperti itu. Sungguh El baik-baik saja. El senang karena El benar-benar sudah lulus. El ingin lanjut ke perguruan tinggi, hingga lulus dan memiliki pekerjaan yang layak untuk El. El akan berusaha membuat Abi, Umi, dan Al bahagia. Selain itu, tak ada yang El pikirkan,” elaknya.

“El, Sayang. Tolong. Tolong katakan apa saja kepada Umi. Umi tahu kau menyembunyikan sesuatu. Kau menyembunyikan rasa sakitmu sendiri. Tolong bagi dengan Umi, nak.” Pandangan Umi lembut, hingga membuatnya tak bisa menahan tangis. Umi langsung merengkuhnya.

“U—Umi.” Gadis itu terisak tak tertahankan. Selama ini ia hanya bisa menahan tangis sendiri. Tak membiarkan orang lain untuk melihatnya, terlebih keluarganya, ia tak ingin membebani mereka, hingga ia menyimpan tangisnya sendiri dalam setiap akhir sholatnya. Berakhir setelah menangis ia akan merasa mengantuk dan tertidur di atas sajadah.

“Menangislah, kau bisa menangis sepuasmu. Jangan menutupi apapun dari Umi.” Usapan di kepala ia rasakan pegitu halus. Tangan Umi bagaiakan sebuah sihir yang mampu membuat melebur.

“Bagaimana ini, Umi? El takut jika semuanya akan bertambah runyam. El takut ini akan merusak segalanya. El masih ingin kuliah. Mungkin benar ini hanya pura-pura, namun semua sungguh menyulitkan El. Seharusnya El tak berada di sana, seharusnya El tak menemuinya. Ini memang salah El.” Isaknya. Air mata terus mengalir, bibirnya pun bergetar, tangannya menggenggam erat baju bagian belakang sang ibu.

“Tidak nak. Ini bukan salah El. Semua sudah berjalan sesuai takdir. Allah sudah menentukan jalannya. Kita hanya bisa melaluinya semampu kita. Jangan salahkan siapapun atas garis tadkir ini. Kau harus ingat, Allah tak meninggalkanmu sayang, begitupun dengan Abi, Umi, dan adikmu. Kami bersamamu, Nak, jangan merasa sendirian lagi.”

☘☘☘

“El. Ada yang ingin nak Taehyung sampaikan padamu. Duduklah.” Tadi setelah menangis, Umi menyuruh El membasuh muka, dan tak lama setelah itu adiknya memanggil, menyuruhnya segera turun ke ruang tengah. Sampai di sana, ternyata semua sudah berkumpul, termasuk Uminya yang kini duduk di sebelah Abi.

“Ada apa, Bi?”.

“Taehyung ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Lantas El menatap sekilas Taehyung yang duduk di antara Namjoon dan Yoongi. Pemuda itu mengulum bibirnya gugup. Ia mencoba mencari ketenangan, dengan menatap Hyungnya, Yoongi dan Namjoon. Namun hanya sedikit rasa tenang itu, bingung, lantas ia menatap gadis di seberang sana yang tengah memilin ujung khimar miliknya. Setelah itu, entah kenapa ketenangan merayap pada dirinya. Ia tersenyum lega, dan dengan berani mengungkapkan isi hatinya.

Girl Meets Euphoria✔(Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang