-Epilogue-

335 36 26
                                    

      Tahu tidak, apa yang paling menenangkan dalam kehidupan ini saat kita tengah berada pada titik terlemah? Pelukan Tuhan.

Sudah berapa kali kita berpaling? Seberapa sering pula kita meninggalkannya, bahkan saat kita dalam keadaan bahagia. Sering kali kita lupa, bahwa kita tak akan jadi apa-apa tanpa campur tangan Allah.

Sehebat apa kita sampai lupa pada yang memberi kemampuan lebih? Seberapa tinggi derajat kita sampai rasa sombong ini melebihi rasa syukur? Kita memang manusia biasa, sifat dan sikap buruk adalah milik kita. Tapi apa salah jika kita berusaha menerima dan mensyukuri apa yang kita dapatkan. Kenapa kita begitu mudahnya berpaling? Jawabannya hanya ada dalam diri kita masing-masing.

Kita juga hidup berdampingan dengan yang lain, sama-sama makan nasi, sama-sama membutuhkan udara untuk hidup. Lantas, kenapa sifat kita setinggi langit? Sesempurna apa kita yang dengan mudahnya menilai, bahkah menghakimi selain kita? Ah, betapa tak tahu dirinya kita ini.

Mungkin jika Allah tak sayang kita, Dia pasti membiarkan kita hidup terlunta-lunta tanpa arah dan tujuan. Bersyukur masih diuji, bersyukur masih diturunkan nikmat. Apa lagi yang akan kita cari selain saku untuk akhir hidup kelak?

Lalu pernah tidak, tiba-tiba merasa hampa? Punya banyak harta, punya tinggi tahta, punya utuhnya keluarga, tapi hidup serasa patah, tak tahu apa sebabnya? Barangkali Allah tengah menguji, seberapa tangguh kita akan melewati segala macam terjalnya jalan.

Dia ingin kita melewati kepahitan hidup dalam gemerlapnya dunia ini. Membuat kita menjadi semakin kokoh, tanpa harus lupa dengan-Nya.

Banyak yang berpikir jika menikah muda akan sangat menyulitkan. Belum lagi jika masih bersekolah, pasti akan sangat merepotkan. Pernikahan memang tak semudah itu, perlu pemikiran yang terbuka. Pasti ada saja batu yang mengganjal, ada keruhnya dalam berumah tangga. Untuk itu segala halnya harus disiapkan matang-matang.

Sama halnya dengan dua anak manusia yang kini duduk di kursi kayu sambil menatap langit, ada beberapa bintang di sana, nampak sangat kentara bahkan dalam dominasi hitam. Semua sudah terencana. Pertemuan mereka pun sudah diatur sedemikian rupa. Sejak awal, mereka berpikir bahwa perjumpaan mereka hanyalah sebuah kebetulan semata, namun siapa yang menyangka jika mereka adalah takdir. Sejauh apapun menghindar, jika Allah menghendaki, manusia tak akan bisa berkutik.

Mungkin benar jika awal jumpa hanya menyisakan sakit, tapi Allah juga sudah menyiapkan keteduhan dalam jawaban-Nya. Pernah dengar istilah setelah hujan pasti muncul pelangi, maka setelah penderitaan terbitlah kebahagiaan? Sakit kita pasti terobati, Allah sudah siapkan obat penawarnya.

"Kak?" Gadis itu menepuk punggung tangan suaminya.

"Hm?" Tehyung menoleh. Istrinya itu entah kenapa tiba-tiba mengulum senyum gugup. Taehyung sampai terheran melihatnya.

"Ada apa?" tanyanya sekali lagi.

"Kau tahu, aku sangat mengagumimu sejak dulu, kak. Kau begitu menawan, bahkan hingga sekarang. Kukira pertemuan kita hanya sementara, tapi Allah berkata lain. Kak Cetta adalah jawaban atas segala doaku." Ah, Taehyung mendapatkan intinya sekarang. Istrinya ini sedang ingin mencurahkan isi hatinya rupanya. Ia segera meraih tangan kecil itu. Ingin mendengarkan baik-baik.

"Kau pandai bicara ya sekarang?" Taehyung terkekeh ringan, matanya tampak menyipit.

"Aku serius, kak. Aku masih kecil, masih sangat labil jika untuk mendampingimu. Aku juga masih sering manja. Masih suka bermain. Aku tak sebaik yang kau pikirkan, kak." Gadis itu menunduk, menyembunyikan raut sendunya. Sebelumnya, ia hanya bercerita seperti ini hanya pada Rain, namun juga tak seluruhnya. Dan kali ini, ia merasa nyaman terbuka dengan Taehyung. Membuatnya berani untuk membuka hatinya yang kosong. El memang tak pernah berpacaran, walaupun ada beberapa teman sekolahnya yang mengatakan suka padanya, tapi ia tak menerimanya.

Girl Meets Euphoria✔(Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang