(23)Dijemur

142 10 0
                                    

Terlihat sekelompok murid tengah berdiri didepan tiang bendara dengan keadaan hormat. Dan jangan lupakan terik matahari yang menyilaukan.

Benar, mereka dijemur olah Pak Buyung. Kata Pak Buyung, itu bukan hukuman. Tapi itu adalah bentuk kebaikkan Pak Buyung untuk mereka semua, karena telah memberi izin mereka berjemur dipagi hari.

"Jam segini biasanya kalian belajar didalam kelas, tapi sekarang saya membiarkan kalian berjemur dibawah matahari hari pagi. Mata hari pagi itu sehat. Kalian harus berterima kasih kepada saya, " ucap Pak Buyung tadi sebelum meninggalkan mereka.

"Aduh...bisa luntur bedak gue, " gerutu Dea.

"Gue lupa pake sunblock lagi, " ucap Kia prihatin, membayangkan wajahnya yang terancam punah.

"Gue nyesel ikut lo, Ton, " ucap Rendi menyesali keputusannya.

"Pak Jeffry sekarang lagi apa, ya? " ucap Alena dengan mata melihat ke bendera merah putih. "Perasaan tadi dia dateng deh. "

"Ini semua salah Jeffry. Seharusnya tadi pagi dia ngabarin ke kita, kalau dia hari ini nggak masuk." dan mulut manis Tono kembali menyalahkan Jeffry.

"Jelas-jelas ini salah lo, ngehasut kita semua, " ucap Rendi sambil menurunkan tangannya. Sikap hormat dalam waktu lama membuat tangannya pegal.

"Iya, Ton. Lo nggak tanggung jawab lagi, " ucap Riska kesal, gadis itu masih setia dengan sikap hormatnya. "Pas ditanya Pak Buyung malah diem, kayak banci, " sembur Riska.

"Emang dia banci, Ris." Seusai berkata itu Rendi kembali dengan sikap hormatnya.

Tono hanya bisa mencibir, rencana pria itu gagal total.

Mereka semua menoleh ke Kia. Gadis itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang lucu.

"Lo kenapa dah? " tanya Dea bingung.

Kia berusaha menghentikan tawanya. "Gue ngebayangin Tono tadi, " ucap Kia kembali tertawa, diikuti oleh beberapa temannya yang lain.

Tono mendengus, lalu memukul kepala Rifal. "Lo ngapain pasangin itu sama gue? " kesal Tono kepada Rifal. "Mana susah lagi ngebuka penitinya. "

"Lo mau-mau aja, " ucap Rifal membela diri.

"Ternyata Pak Buyung lebih galak daripada Pak Jeffry, " gumam Kia, dengan pandangan kebendera merah putih.

"Pak Jeffry nomor dua paling galak disekolah ini, " ucap Riska.

"Enggak, Pak Jeffry nomor tiga. Nomor satu Pak Syahrul, nomor dua Pak buyung, nomor tiga baru Pak Jeffry, " protes Dea membenarkan.

"Liat tuh Devan, enak bener dia minum es." mata Alena tertuju kepada Devan yang tengah duduk bersama Pak Buyung. Alena meneguk ludahnya, melihat betapa nikmatnya teh es berbungkus plastik yang dipegang Devan.

"Enak banget si Devan. Kita panas-panas gini, dia malah makan-makan sama Pak Buyung, " keluh Dea lemas.

Devan duduk bersama Pak Buyung dikursi panjang. Keduanya tengah memakan lontong dengan minuman teh es, sambil penikmati pemandangan dilapangan upacara.

"Terima kasih bapak udah nraktir saya, " ucap Devan sopan sambil memakan suapan terakhir. Devan sedikit tidak menyangka, Pak Buyung mentraktirnya makan. Dan ternyata Pak Buyung orang yang asik untuk dibawa berbicara. Tadi tidak jarang Pak Buyung terkekeh ketika Devan bercerita.

Pak Buyung meng-lap mulutnya dengan tissu. "Bapak bangga sama kamu. Kamu tidak mudah terbawa arus." Pak Buyung sudah tahu, bahwa kelas sebelas ips satu tadi berniat mengerjai Jeffry. Devan yang menceritakannya tadi.

Devan hanya bisa membalas dengan senyuman canggung.

"Teman-teman kamu kalau belajar sama Jeffry gimana? "

Devan tampak bingung, pria itu menggaruk-garuk pipinya. "Aa agak semena-mena sih, Pak, " ucap Devan sambil berfikir.

Pak Buyung membalas dengan beberapa anggukan. "Padahal Jeffry itu bagus loh." Pak Buyung mangacungkan jempolnya. "Orangnya tegas. "

"Tapi galaknya minta ampun, " ucap Devan sedikit berbisik dibalas tawaan oleh Pak Buyung. "Sama kayak Bapak."

"Apa? " suara Pak Buyung sedikit meninggi.

Devan terkekeh canggung. "Enggak-enggak, Bapak baik."

Pak Buyung mengajak Devan ketempat para murid yang dijemur tadi. Mereka yang tadinya berciloteh kini diam seribu bahasa. Tangan mereka yang tadi turun, kini kembali pada sikap hormat.

Pak Buyung menyuruh mereka untuk menurunkan tangan, membuat mereka semua bernafas lega.

Tono yang ada pada barisan paling belakang mengertak Devan, entah apa tujuannya. Pria itu langsung menunduk ketika Pak Buyung melihatnya.

"Apa alasan kalian nggak pake baju olahraga? " Tanya Pak Buyung, walau ia sudah tau jawabannya.

Rendi mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk menyampaikan jawabannya.

"Disuruh Tono, Pak, " ucap Rendi usai Pak Buyung mempersilahkan dirinya untuk berbicara. Ucapan Rendi tadi dibalas anggukan oleh teman-temannya. Sedangkan Tono, pria itu menunduk karena tidak berani melihat tatapan tajam Pak Buyung yang tertuju kepadanya.

"Yang bernama Tono, maju kedepan. " perintah Pak Buyung.

Tono menghela nafas panjang. Lihat saja nanti dikelas, teman-temannya ini akan mendapat tinjuan gratis.

Dengan penuh ketakutan Tono maju kedepan. Pria itu tetap saja menunduk ketika sudah berada didepan.

"Push up 10 kali. "

Perlahan Tono mendongak, melihat teman-temannya lalu beralih ke Pak Buyung.

"Push up, " ulang Pak Buyung.

Tono menggaruk pipinya, pria itu merasa bingung, Tono tidak tahu bagaimana cara push up. Pria itu menangis didalam hati.

"Saya bilang push up! " ucap Pak Bayung sedikit lebih keras.

Tono kembali melirik teman-temannya, terlihat Rifal tengah menahan tawanya. Perlahan Tono mangambil posisi, entah posisi apa itu, pria itu tidak peduli.

Terdengar beberapa temannya terkekeh, ketika Tono mengambil posisi seperti itu.

Teman-temannya tertawa terbahak-bahak, sedangankan Pak Buyung memegangi keningnya. Bisa-bisanya Tono melakukan gerakan sit up, bukan push up.

Tono menghentikan kegiatannya, ketika medengar gelak tawa. Tono melakukan gerakan sit up karena hanya gerakan itu yang ia tahu, dan ia juga tidak tahu kalau itu namanya sit up.

"Ya tuhan!!" Pak Buyung benar tidak habis pikir, bisa-bisanya siswa SMA tidak tahu gerakan pus up. Kemana saja pria itu selama ini.

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK

Sampaiin sesuatu ke Tono dong

Alena (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang