Jeffry terpaku ditempat, dirinya serasa ditembak ketika membaca pesan dari sang Papa. Jeffry tidak tahu ini benar atau tidak, tapi hatinya seakan mengatakan kalau sang Papa tidak berhohong. Kata-kata itu membuat Jeffry tertegun dan berderai air mata.
Dengan tergesa-gesa Jeffry membuka helmnya. Kali ini Jeffry merasa beruntung melihat Alena, yang baru saja keluar dari rumah sakit. Dengan langkah besar Jeffry berjalan mendekati gadis itu. "Alena, kamar Papa dimana? " tanya Jeffry cepat, dan terdengar begitu khawatir, Jeffry sedikit menggoyangkan lengan Alena.
Alena terdiam, melihat wajah Jeffry yang penuh dengan kecemasan, mata pria itu merah dan berair. Alena mengerjap, Alena mengerti keadaan sekarang. Jeffry pasti sudah membaca pesan sang Papa. Alena menarik tangan Jeffry, Alena berlari diikuti oleh Jeffry.
Jeffry langsung masuk kedalam kamar sang Papa. Alena hendak masuk, tapi ditahan oleh Bunda. Bunda menggeleng kecil, Alena yang mengerti membalas dengan anggukam kecil.
Tangisan Jeffry semakin pecah melihat seorang pria terbaring diranjang rumah sakit. Perlahan Jeffry berjalan mendekat, mengucapkan kata yang selama ini ingin sekali ia ucapkan. "Papa, " ucap Jeffry, diiringi dengan isakan tangis.
Sang Papa memandangi Jeffry dengan ekspresi yang tidak dapat diartikan. Sang Papa membuang muka, membuat hati Jeffry semakin remuk. "Pa...Maafin Jeffry..." lirih Jeffry, memegangi tangan sang Papa.
"Pergilah Jeffry...Papa nggak nyuruh kamu buat dateng dalam mimpi Papa...Papa muak liat wajah kamu yang selalu muncul dalam mimpi Papa. Papa mau kamu datang langsung..." lirih sang Papa, diiringi dengan air mata.
Tangisan Jeffry semakin pecah, ia menyesali kebodohannya selama ini. Seharusnya ia mencari tahu terlebih dahulu. Seharusnya dirinya mendengarkan pernjelasn dari Papa, tidak asal menyimpulkan seperti ini. "Pa...ini Jeffry..." lirih Jeffry lagi, Jeffry menggenggam tangan sang Papa. Menangis menunduk, dengan genggaman itu ia letakkan dikeningnya. "Jeffry minta maaf..."
Adrian atau Sang Papa menggeleng kecil. Ia masih belum percaya ini adalah anaknya. Perlahan sebelah tangan Adrian meraih kepala Jeffry, Adrian mengusapnya pelan. "Jeffry..." lirih Adrian, dengan tangisannya. Tapi kali ini bukan tangisan kesedihan, melainkan tangisan bahagia dan rasa syukur. "Kamu dateng nak..."
"Pa..." Jeffry sesegukan, layaknya anak kecil. "Jeffry udah jahat sama Papa, kasih Jeffry hukuman Pa..." ucap Jeffry masih menangis.
Adrian tersenyum, ternyata anaknya belum berubah. Dari dulu ketika ia melakukan kesalahan, pasti ia meminta hukuman.
"Jeffry udah durhaka sama Papa. "
Adrian kembali tersenyum, mengusap rambut Jeffry. Jeffry masih menangis, menunduk, menumpahkah tangisannya pada tangan Adrian. "Udah...jangan nangis lagi. Papa senang kamu kesini. "
Kali ini Jeffry mendongak, ia menghapus air mata yang ada dipipinya. Jeffry menggeleng kecil. "Beri Jeffry hukuman, Pa."
Adrian jadi terkekeh kecil, menggeleng kecil beberapa kali. "Hukumannya jangan nangis lagi. Nggak malu diliatin adek kamu, " ucap Adrian menunjuk Alena yang menampakkan wajahnya dikaca jendelan. Alena cengengesan walau matanya juga berkaca-kaca, lalu gadis itu menghilang ketika Jeffry melihat kearahnya.
Jeffry menghapus air matanya, mencoba untuk meredakan tangisannya.
Adrian menghela nafas berat. "Jeffry, kamu nggak marah 'kan papa nikah sama bunda Alena? " Jeffry tidak menjawab, pria itu sibuk menghapus air matanya. "Kalau gitu biar Papa yang bicara sama Bunda. Dia orang baik, dia pasti senang kalau liat kamu bahagia. Kalau kamu mau, Papa pisah sa--"
"Enggak, Pa..." potong Jeffry. Jeffry jadi tersenyum. "Jeffry nggak masalahin itu."
Malah Jeffry berterima kasih kepada Bunda Alena, karena telah menjadi istri yang baik untuk sang Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alena (END)
Teen FictionJeffry itu seorang guru PL, tentu umurnya dengan Alena terpaut jauh, tapi Alena tetap mencintainya. Jeffry itu sering marah, suka membentak, dingin, dan Alena masih tetap mencintainya. Kurang tulus apalagi cinta Alena terhadap pria itu? Alena selal...