(61)Makasi telah ada

117 10 0
                                    

Sebelum baca jangan lupa vote ya

Pagi ini tampak cerah, berbanding terbalik dengan dua insan yang sedari tadi berderai air mata.

Tangan Rindu menggapai wajah Jeffry, menghapus air mata pria itu yang jatuh. Sedari tadi Jeffry bercerita, bercerita tentang apa yang sebenarnya yang terjadi.

Jeffry tidak ingat apa yang ia lakukan ketika mabuk, tapi ia begitu ingat dengan kejadian sebelum ia mabuk.

"Papa gue udah nggak sayang sama gue. Audrey juga. Audrey nyelikuhin gue..." suara Jeffry melambat, luka dihatinya begitu banyak dan belum terobati. Sampai sekarang hatinya serasa diiris-iris pisau.

Rindu menghela nafas berat. "Terus keadaan Papa lo gimana? "

Sambil menunduk, Jeffry menggeleng pelan. "Gue nggak peduli. Buat apa gue mikirin orang yang udah nyakitin hati Mama gue, " ucap Jeffry, terdengar dingin. "Gue benci sama dia. Gue benci sama selingkuhannya, " ucap Jeffry penuh dendam. "Mereka seakan nggak punya perasaan. " Jeffry melihat Ke Rindu, tangan pria itu menangkup pipi Rindu, melihat Rindu dengan lekat. "Gue mohon,  jangan bilang sama Mama gue, ya? "

Rindu menyingkirkan tangan Jeffry, lalu berpaling ke samping. "Tapi sampai kapan Jef? Ini masalah besar."

"Selamanya."

Rindu tidak bisa berkata, ia hanya diam melihat ke satu titik. Hatinya sampai sekarang terasa sesak, membayangkan bagaimana keadaan Jeffry saat mabuk malam tadi. Jeffry terlihat begitu terluka, dan ia sangat berkeinginan untuk bunuh diri. "Jeffry, lo tau?

"Apa? " suara itu terdengar lemah.

"Semalam lo hampir aja bunuh diri."

Jeffry tidak kaget, ekspresinya masih sama seperti sebelumnya. Karena dari awal ia memang ingin untuk bunuh diri. "Kenapa? Kenapa lo halangin gue? " suara lambat itu begitu manyayat hati Rindu. "Gue mau mati, Ndu. "

Rindu memegang tangan Jeffry, lalu mengusapnya pelan. "Kenapa lo sampai bilang gitu? "

"Gue--" Jeffry tersenyum miris. Dirinya adalah seorang pencundang, dirinya pengecut. Ia tidak sanggup melewati hari-hari berikutnya dengan masalah yang kian menjadi-jadi. Dengan otak yang terus mengingat kejadian semalam. 

"Jangan lakuin itu lagi, ada gue, ada Mama lo, ada mama gue, ada papa gue. Kita sayang sama lo, lo nggak sendiri Jef. Seenggaknya ada gue, gue bakal tetap disamping lo. Kita bisa ngelewatin ini sama-sama. Jangan jadi bodoh hanya karena masalah," ucap Rindu begitu menenangkan.

Jeffry tertegun, ucapan Rindu begitu menenangkan. Suara Rindu yang lembut, membuat Jeffry terbuai, hati Jeffry menjadi hangat Walau rasa sakit itu masih ada.

"Kalau lo pergi, siapa yang ngerjain tugas kuliah gue? Gue butuh lo, Jeffry. Lo mau gue nggak wisuda, wisuda?" Rindu menciutkan bibirnya, merasa kesal sendiri kepada sahabatnya itu.

Jeffry jadi terkekeh sambil menggelengkan kepala, masalah itu terlupakan sejenak. Tangan Jeffry beralih menggapai surai hitam milik Rindu, Jeffry mengusapnya pelan. "Lo tau? "

"Apa? "

Jeffry jadi tersenyum, memandangi wajah gadis itu. Jeffry menghapus sisa-sisa air mata yang ada dipipi Rindu. "Kadang gue ngerasa jadi banci, sering nangis depan lo." Jeffry tersenyum, matanya berkaca-kaca. Itu bukan senyuman palsu, tapi senyuman karena kehangatan hati. "Kadang gue ngerasa jadi adek lo, karena sering lo ceramahin. "

Rindu juga ikut tersenyum, melihat pria itu tersenyum. "Kadang gue ngerasa jadi murid lo, karena lo sering ngajarin gue."

Secara perlahan wajah Jeffry kembali berubah menjadi sendu, membuat Rindu juga begitu. Jeffry seakan menciut begitu saja.

Rindu menyerngit. "Kenapa, Jef? "

Jeffry tersenyum miris. "Maaf. Maaf gue udah marah sama lo waktu itu. "

Raut Rindu berubah menjadi kesal, mengingat Jeffry menyalahkannya waktu itu. "Lo itu, Ya--" dengan gemesnya Rindu menarik rambut Jeffry. Jeffry tidak melawan, ia hanya mengelak.

"Sakit gila! " Jeffry bangkit dari duduknya, mencoba untuk menghindari Rindu. "Udah, udah! " lanjut Jeffry, ketika Rindu hendak menggapai rambutnya kembali.

Rindu masih tampak kesal. Raut gadis itu berubah menjadi licik, lalu dengan sekuat tenaga Rindu menendang kuat tulang kering Jeffry.

"AAAA!!! " teriak Jeffry keras, memegangi tulang keringnya, pria itu terjinjit-jinjit kecil karena kesakitan. "GILA! SAKIT GILA, LO-A"

Rindu berkacak pinggang, gadis itu tersenyum bangga. "Lo pantes dapetin itu. Gue nggak--" Rindu terdiam, ketika ketika Jeffry menarik dirinya kedalam dekapannya.

Jeffry tersenyum. "Bener kata orang, cewek kalau ngamuk itu dipeluk aja, biar diem. "

Rindu menghela nafasnya panjang. Ia benci situasi seperti itu, ia benci detak jantungnya yang tidak karuan. Rindu melerai pelukannya, lalu meneguk ludahnya. Ia jadi ciut begitu saja.

"Ndu..." Jeffry melihat Rindu dengan lekat. "Makasi udah ada, dan makasi selalu ada. Gue janji nggak bakal ngelakuin itu lagi." Jeffry kembali ke topik itu, membuat suasana kembali sendu.

Rindu mengerjap, kalimat Jeffry berusan begitu menenangkan untuknya. "Janji?"

Jeffry tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Iya, janji. "

Rindu juga ikut tersenyum. "Janji nggak mabuk lagi? "

Jeffry mengangguk untuk mengiyakan.

"Kalau ada apa-apa janji nggak ngerokok lagi? "

Jeffry seakan berfikir. Ia mempunyai banyak masalah, terkadang ia merasa begitu tertekan ketika mengingat itu. Selain Rindu, rokok juga menenangkan. Jeffry menggeleng pelan, lalu tersenyum hambar. "Nggak janji. "

Rindu tampak kecewa. "Kenapa?"

Jeffry menggeleng. "Gue bakal berusaha."

Rindu hanya membalas dengan anggukan. Ia juga tidak memiliki hak untuk melarang keras Jeffry. Rindu mendongak melihat wajah Jeffry, ketika pria itu menggapai tangannya.

"Ini kenapa? " tanya Jeffry, melihat tangan Rindu yang terluka. Luka itu karena pisau tadi malam. "Jawab, Ndu..."

Rindu menipiskan bibirnya sebelum berkata. "Ini...karena lo, " ucap Rindu terdengar kesal. "Lo sok-sok an mau nusuk urat nadi lo. Gue berusaha buat ngambil pisau itu dari tangan lo. Trus gini deh. " Rindu melihat jarinya yang terluka. "Tapi ini biasa aja kok."

Jeffry tersenyum miris, didalam hati ia mengumpati dirinya. "Maaf gue udah lukain lo. "

Rindu tertegun, ia memaksakan senyumannya. "Nggak apa-apa, jangan merasa bersalah gitu. Lo biasanya juga santai aja kalau salah sama gue, kenapa sekarang malah minta maaf, " ucap Rindu diiringi dengan tawaan, mencoba untuk mencairkan suasana. Tapi tampaknya Jeffry terlalu jaman dengan suasana seperti ini.

"Udah diobatin? "

"P3K dikamar Mama, mereke belum pulang. " Rindu melongos pelan, merasa dibohongi oleh kedua orang tua. Mereka bilang mereka akan pulang pagi ini, tapi nyatanya tidak.

"Masih sakit? " tanya Jeffry masih dengan nada tenangnya.

"Dikit. "

Rindu mendelik, ketika secara tiba-tiba pria itu meniup lambat kearah lukanya. "Jef, jangan lebai deh! " disatu sisi Rindu menggerutui dirinya, pipinya memerah. Ia berharap Jeffry tidak menyadari itu.

Jeffry menghentikan kegiatannya, ia beralih melihat Rindu. Kini pria itu kembali mendekap Rindu. "Maaf..." lirih Jeffry. "Maaf gue udah nyusahin lo, maaf gue udah nyakitin lo." ucap Jeffry.

Diam-dima Jeffry menangis didalam dekapan itu. Kejadian semalam kembali terlintas didalam otaknya. Otaknya seakan menayangkan film, bagaimana keadaan dirinya tadi malam. Bagaimana gilanya dirinya tadi malam.

 

Kata2 buat Rindu dung

Alena (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang